Tuesday, November 08, 2005

Radio Anywhere!

Salah satu kegiatan yang hingga kini masih saya lakukan dan saya gemari adalah mendengarkan radio. Sejak masih duduk di bangku SD saya sudah mendengarkan radio. Dari zaman gelombang radio masih AM atau SW hingga, saat ini, FM. Kegemaran saya bahkan tidak sekadar mendengarkan, kadang-kadang saya terlibat aktif dengan mengirimkan kartu pos untuk memilih lagu atau berkirim salam. Itu zaman dulu. Kalau sekarang, karena zamannya sudah lain, menggunakan SMS atau telepon. Rasanya ada sensasi tersendiri ketika mendengar radio dan mengetahui lagu permintaan saya diputar.

Saya jarang fanatik dengan satu stasiun radio. Hampir semua stasiun radio saya dengarkan. Hingga kini, saya selalu berusaha mencari dan mendengar radio ketika berada di luar kota atau luar negeri. Itu salah satu hal yang pertama-tama saya lakukan. Ketika melakukan perjalanan pulang kampung pun kegiatan itu tetap saya lakukan. Sepanjang perjalanan saya selalu mencari gelombang radio. Saya betul-betul menikmati suara dan obrolan penyiar. Baik itu stasiun radio-radio di Indramayu, Cirebon, Tegal, Semarang, Salatiga, Yogya, Madiun, Kediri, Tuban, Surabaya sampai Banyuwangi.

Kalau di luar negeri, kadang-kadang saya merekam siaran beberapa radio untuk saya dengarkan lagi sepulang dari kunjungan. Gila memang. Kalau orang lain lebih memilih berfoto-ria untuk mengabadikan perjalanannya, saya memilih merekam suara dan obrolan penyiar radio. Dan juga televisi. Tapi, bukan berarti saya tidak suka berfoto. Itu mah teuteup...

Saat ini, dengan kecanggihan teknologi dan the wonder of Internet, saya bisa mendengarkan radio (dan nonton televisi) dari berbagai penjuru dunia dengan mudah. Ini benar-benar memenuhi kehausan saya. Salah satu software yang saya rekomendasikan untuk mendengar radio adalah X-streamRadioUK. Kecil, sederhana tapi luar biasa. Software ini menyediakan link ke radio-radio di berbagai negara seperti Inggris, Amerika, Canada, Australia, Perancis, Italia, Jepang dan masih banyak lagi yang lain. Sayangnya Indonesia belum ada. Dan yang membuat luar biasa software ini mampu merekam siaran radio tersebut dalam format MP3 atau WAV. Jadilah, saat ini dalam perjalanan ke kantor saya selalu ditemani siaran radio dari London, Glasgow, Berlin, Paris bahkan Puerto Rico.

"Di Radio aku dengar lagu kesayanganku... " (alm. Gombloh)

Sunday, September 04, 2005

Kemeriahan Tujubelasan

Tujuhbelasan selalu menjadi momen yang menggembirakan di lingkungan rumah kami. Salah satu momen yang ditunggu-tunggu selain lebaran idul fitri dan lebaran haji. Maklum kami masih tinggal di lingkungan perkampungan yang (sebagian besar) masih betawi dan agak ndeso.

Sejak empat tahun yang lalu tinggal di tempat ini kami mencoba melibatkan diri dengan acara tujuhbelasan. Pada awalnya kami bertujuan agar lebih mengenal tetangga, lama kelamaan momen ini sudah jadi agenda tahunan keluarga kami. Oh ya, ada cara lain untuk mengenal tetangga, yaitu mengikuti arisan bapak-bapak. Tetapi, saat ini saya sudah mengundurkan diri dari acara mingguan itu karena sering absen dan cuma nitip uang. Saya pikir arisan itu terlalu sering diadakan, terutama buat saya yang harus kerja hampir tiap hari, bahkan sampai malam (he he he he). Sebagian besar dari mereka memang banyak yang kerja temporary atau tidak kerja (kakek-kakek.dan pengangguran). Jadinya, ya fine-fine aja untuk kongkow-kongkow setiap minggu. Ajang ini jadi ajang obrolan ngalor-ngidul dan berbagai gosip lokal. Gila memang, bapak-bapak kampung ini. Rumpi, deh!

Kembali ke tujuhbelasan. Sebelumnya, acara-acara yang diselenggarakan adalah lomba-lomba biasa nan standar seperti balap karung, pukul kendi, makan kerupuk, balap kelereng dan yang lain. Khas tujuhbelasan memang. Tapi, setelah kami datang, kami mengusulkan untuk lomba-lomba yang lebih mendidik buat anak-anak seperti mewarnai, mengarang dan baca puisi. Dan lomba-lomba ini sekarang juga sudah menjadi agenda tahunan yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak.

Dan tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya tetap meriah. Anak-anak selalu bersemangat mengikuti berbagai lomba, baik yang sifatnya main-main maupun yang serius seperti lomba mewarnai dan mengarang. Yang tidak kalah antusiasnya adalah para orangtua. Banyak bermunculan ortu yang ambisius dengan berusaha memaksa anak-anaknya untuk menjadi juara dan pulang bawa hadiah.

Ada sebuah keluarga yang ibunya semangat banget men-support anaknya agar menjadi juara dengan berbagai cara. Ibu semacam ini akan sewot berat apabila ternyata anaknya kalah. Dengan ngedumel ia berlalu pada akhirnya, “Ah, biarin deh… tahun ini ngga juara. Tunggu tahun depan!” Rupanya tahun-tahun sebelumnya, keluarga ini selalu menggondol berbagai hadiah untuk setiap anggota keluarganya. Saya melihat dari balik handycam dengan tersenyum geli.

Tapi di sisi lain saya bangga dengan anggota keluarga saya. Tahun ini keluarga saya menggodol satu medali emas dan dua perak. Satu emas dari cabang ambil kelereng dengan sumpit yang dimenangkan isteri saya. Dua medali perak dipersembahkan oleh anak gadis kami satu-satunya dari lomba mewarnai dan peragaan busana muslim. Itu belum ditambah kalo bapaknya ikut turun berlomba juga, pasti bakalan menyabet beberapa medali tambahan. Tunggu tahun depan! (Wah jadi ketularan berambisi seperti ibu bawel itu.). Ngga papa, kami adalah Trio Ambisi. (Oh ya, bukannya ini nama grup penyanyi Batak yang suka main di hotel-hotel menengah. Saya sempat melihat spanduknya di sebuah hotel kecil di bilangan menteng.) Merdeka!

Wednesday, May 18, 2005

Haruskah kita belajar dari anak kecil?

Kubaca koran pagi. Halaman pertama. Di bagian atas memberitakan beberapa pejabat ditahan karena kasus korupsi. Ah, biasa. Akhir-akhir ini saya sudah terbiasa dengan berita semacam itu. Dan saya sudah terbiasa pula menebak akhir dari kasus seperti itu. Biasa, biasa, biasa.

Mataku lalu tertuju pada berita kecil di ujung bawah koran. Dalam tulisan itu diceritakan seorang gadis kecil di Amerika yang menulis surat buat teman-temannya korban tsunami di Aceh. Sepucuk surat kecil yang menaruh perhatian besar terhadap sesamanya. Mereka terpisah jarak nun jauh. Mereka melakukan aksi nyata dengan mengumpulkan uang saku untuk sumbangan. Bahkan mereka membuat kerajinan tangan berupa gelang yang lalu dijual dan hasilnya disumbangkan pula. Sebuah aksi kecil luar biasa. Jumlah uangnya mungkin tidak besar. Tapi kepedulian mereka sungguh luar biasa.

Oh anak-anak. Haruskah kami, yang merasa dewasa ini, harus belajar kepadamu? Haruskah kami selalu diingatkan dengan hal-hal kecil yang kau lakukan?

Dasar anak-anak. Kadang kalian disepelekan. Ditiadakan. Dilupakan. Dikosongkan. Tapi kalian sungguh putih. Bersih. Meski kecil.

Lalu sekarang apa gunanya mereka yang besar-besar tetapi juga melakukan kerusakan yang meraksasa. Hutan, sungai, laut, langit, daratan perlahan-lahan akan luluh lantak karena tangan-tangan besar yang terbutakan. Menyepelekan. Meniadakan. Mengosongkan. Kotor. Dan itu besar.

Tuesday, May 17, 2005

Obrolan Dangdut Terdahsyat!

Saking keasyikan kerja di depan komputer, gw telat makan siang. Karena perut sudah memainkan orkestra lengkap, gw buru-buru melesat mencari makanan. Dan yang paling dekat adalah warung soto ayam Bang Endut di depan kantor. Selain murah meriah, soto Jawa Timur ini juga lumayan uenak. Tapi, sebetulnya gw kan bukan pencicip makanan yang handal. Yang ada di lidah gw cuma enak dan enak sekale. Buat Rena, sorry, gw ngga bisa ngebedain mie di Crystal Jade sama mie-mie di tempat lain secara gw juga ngga terlalu hobi sama mie-mie-an. Tapi, emang di situ TOP banget sih.

Setelah meneriakkan pesanan, gw segera mengambil ancang-ancang untuk menikmati panas dan pedasnya soto ayam di siang bolong. Sambil menunggu soto pesanan diracik, selintas terdengar obrolan dua lelaki yang duduk berserberangan sama gw. Dua lelaki ini tipe mas-mas berprofesi kerja kasar atau satpam (sori, bukan berarti gw membedakan profesi ini dg yang lain). Gw sekadar pengin ngasih gambaran gimana postur dua lelaki berkulit legam ini dan selanjutnya mengontraskan dengan obrolan mereka.

“Musik lagu-lagu Uut lebih tergarap bagus. Suaranya juga lebih merdu daripada Inul,” ujar Si Mas A. Lalu Si Mas B tidak kalah serunya memberi tanggapan yang intinya mendukung pendapat Si Mas A sambil memberikan beberapa contoh judul lagu yang dinyanyikan kedua penyanyi. Sori, gw ngga hapal betul judul-judul lagu itu. Made, sori ya gw bukan fans Uut.

Yang bikin gw heran, ternyata ada perbincangan semacam itu di antara dua lelaki berbadan kekar. Seurieus pula. Gw ngga bakal heran kalo mereka ngomongin kejadian kriminal yang habis mereka baca di koran merah, atau bakul jamu yang bahenol atau nomor-nomor togel yang diramalkan bakal keluar.

Akhirnya, perbincangan seru di antara kedua mas ini mengiringi suapan-suapan soto ayam gw. Mereka menggunakan istilah cengkok, tarikan napas, pitch control, tiupan suling, hentakan gendang dan berbagai piranti dangdut lain. Sebetulnya gw gatal pengin nimbrung tapi gw betul-betul ngga menguasai bahan. Yang gw tau hanya sebatas Inul memperkenalkan goyang ngebor dan Uut populer dg goyang ngecornya. Nyerah deh, dalam hal ini gw ngga bisa ngebedain mana dangdut yang enak dan yang ngga enak. Yang penting asyik buat goyang aja Salam dangdut, mas!

Wednesday, April 27, 2005

Visiting UK: My New Life in Cambridge (1)

Minggu pagi. Tiba di Heathrow. Setelah menunggu beberapa saat, penjemput datang. Penjemput kami adalah seorang sopir taksi. Dan yang bikin gw kaget dia adalah seorang perempuan, namanya Linda. Cantik. Rambut pirang. Tinggi sedang. Nama taksinya Rose Taxi. Ada gambar bunga mawar merah di badan taksi itu. Agak norak, memang. Padahal gw berharap naik London Cab hitam yang terkenal itu. Tapi, ya sudahlah… si Linda ini sudah jadi hiburan tersendiri. Sepertinya, Rose Taxi adalah semacam Avon untuk taksi. Company for women, gitulah.

Sepanjang perjalanan menuju Cambridge Linda bersikap sangat ramah. Ia menjelaskan tempat dan keadaan yang kami lewati. Dan ini perlu dicatat, Linda tidak pernah menanyakan apa tujuan kami datang ke Cambridge atau nanya umur atau status hubungan kami serta pertanyaan personal lain. Itulah beda orang bule dengan kita. Mereka ramah tanpa harus mencampuri urusan orang lain.

Pemandangan yang kami lalui sebetulnya ngga ada yang istimewa karena kami melalui jalan tol atau kalo di Inggris disebut dengan motorway. Jadi yang ada Cuma tanah-tanah lapang dengan pepohonan merah kecoklatan karena musim gugur. Diselang-seling dengan bangunan pabrik atau rumah-rumah kecil. Tapi, di mata gw pemandangan itu sangat istimewa karena baru pertama kali melihatnya.

Setelah sekitar dua jam perjalanan, taksi mulai memasuki Cambridge. Sebelumnya gw ngga pernah ngebayangin kaya’ apa kota ini, selain kota yang penuh dengan kampus dan mahasiswa. Kesan pertama gw terhadap Cambridge adalah kota kecil, sepi dan agak membosankan. Kebetulan kami tiba di hari minggu, hari bermalas-malasan bagi warga kota sekecil Cambridge.

Kami melalui jalan-jalan di tengah kota Cambridge yang lengang. Lalu tiba di rumah yang bakal ditempati Yudi. Oh ya, kami mengambil program homestay dari sebuah sekolah bahasa Inggris yang cukup dikenal (sekarang) di Indonesia, EF. Rumah di Fairfax Street terlihat seragam. Kuno dan kelabu. Begitulah bangunan community house buat sebagian besar warga Inggris.

Lalu, Linda mengantar gw menuju High Street, ke boarding house gw. High Street berada agak di pinggiran kota. Tapi lingkungan di sini lebih meriah dibandingkan Fairfax Street, tempat Yudi. Sepanjang jalan ada supermarket, laundry house, chinese restaurant dan beberapa café serta bar. Bangunan rumah yang bakal gw tempati ngga jauh beda dengan rumah-rumah lain, sebuah community house yang terdiri dari 2-3 rumah dalam satu bangunan dua lantai. Mirip flat kecil. Kalo sering merhatiin film-film Inggris pasti kebayang bentuknya.

Setelah memencet bel pintu rumah, seorang ibu-ibu paruh baya membuka pintu. She is going to be my “new mom”. Ann Edwards namanya. Ibu satu ini sangat ramah, baik hati dan energik meskipun usianya sudah tidak muda lagi, lima puluhan. Setelah bersalaman, Ann membawa gw mengenali lingkungan rumah yang ada di lantai dua. Sebetulnya rumahnya ngga terlalu besar. Ada dua kamar tidur, dapur, satu kamar mandi, ruang tamu yang merangkap jadi ruang tengah dan ruang makan.

Mungkin sudah jadi prosedur standar atau Ann nganggap gw datang dari negara dunia ketiga, sehingga dia perlu menjelaskan semua piranti yang ada di rumah. Sebetulnya sangat sederhana dan sudah sering kita temui sehari-hari, seperti buka kran, nyalain kompor, nyetel tv dan beberapa peraturan lain di rumah. Ok, no problem mom. Sekalian sebagai bahan pelajaran bahasa Inggris gw yang saat itu cukup minim. Sekarang pun, masih teuteup …

Monday, April 11, 2005

Inikah Indonesia kita?

Minggu pagi. Pesta ulang tahun anak seorang teman. Kami tidak kenal dengan semua tamu, kecuali sang pengundang dan keluarganya. We’re completely strangers in a crowd. Untungnya, Naura, anak saya, bisa bergabung dalam pesta. Ia ikutin permainan, nyanyian dan teriakan-teriakan. Biasanya ia agak sulit beradaptasi, tapi kali ini tidak. Tapi, itulah anak-anak. Cepat akrab!

Sementara saya menyelinap di antara tetamu dan makanan. Tidak berusaha kenal dengan mereka. Hanya senyam-senyum sana-sini. Basa-basi. Itulah orangtua. Penuh basa-basi.

Di antara kerumunan ayah-ayah dan ibu-ibu muda, sebagian besar memang tamu datang dari kelompok ini, saya menguping sebuah pembicaraan. Sebetulnya lebih tepatnya bukan menguping, tapi memang mendengar karena mereka berbicara cukup keras hingga bisa didengar dalam radius 2-3 meter. Begini, kurang lebih, pembicaraan itu.

Ayah berkacatamata (AB): “Lo, kenal Sadam (bukan nama sebenarnya), ngga?
Ibu berkacatamata juga (IBK): “Ya, gue kenal.”
AB: “Doi tuh manajer di kantor gue yang ngga mau terima suap.”
IBK: “Militan!”

Lalu Si AB bercerita panjang lebar modus operandi dari cara penolakan sang manajer yang ogah disuap ini. Dalam hati, saya bangga mendengar cerita tindakan sang manajer. Huray! Tapi, Si AB mengakhiri ceritanya dengan nada agak mencibir. Ditambah istri AB yang berdandan menor melengkapi cerita dengan sebaris kata-kata: “Strange, unusual person!”

Lalu mereka yang bercerita dan beberapa yang mendengar (tidak termasuk saya, tentu saja) menampakkan wajah setuju. Dalam bayangan yang lebih dramatis dan tragis yang saya bentuk sendiri, mereka mengangkat tinggi-tinggi gelas dan bersulang: “Cheers! Hidup persuapan! Musnahlah manusia yang ogah disuap!”

OMG, hidup dimanakah kita ini? Inikah gambaran norma yang sedang berlaku? Saya langsung merasa bukan berasal dari kelompok mereka. Bukannya saya merasa sok bersih dan sok suci. Terus terang, saya juga melakukan kesalahan. Tapi, untuk menceritakan sebuah peristiwa suap-menyuap dengan nada yang pro seperti itu? Dan sikap anti terhadap orang yang ogah disuap? Ngga bakal saya lakukan! Meskipun, misalnya saya terlibat dalam sebuah persuapan, saya masih akan anggap itu sebuah aib yang tidak patut dibanggakan. Ah, ya sudahlah… Mudah-mudahan itu sekadar cerita dan saya salah menangkap ekspresi dari mereka. Saya terlalu melebih-lebihkan.

Pikiran saya lalu melintas (kembali) ke sebuah acara kongkow2 dengan teman2 lama. Hey Rena, Mar, Angka, Din dan beberapa yang lain! Waktu itu kita cerita ngalor-ngidul tentang kondisi bangsa ini dan akhirnya sampai pada sikap untuk mencegah KKN dengan tindakan yang dimulai dari kita sendiri, dari yang kecil dan mulai saat ini juga. I am really proud of you all, guys. Adegan itu masih tertanam kuat dalam pikiran saya. Dan selalu menjadi pencegah untuk melakukan hal-hal negatif di seputar KKN. Insya Allah.

Pagi ini saya baca di koran tentang seseorang yang cukup dikenal dan duduk dalam sebuah komite tertentu ditangkap karena terlibat sebuah peristiwa persuapan. Kembali saya menarik napas dalam-dalam. Inikah dunia kita, Indonesia kita, tetangga kita? Bukan, ini bukan dunia saya, bukan Indonesia saya, bukan tetangga saya.

Thursday, April 07, 2005

Naura: The Hardest Question

Akhirnya datang juga saat-saat yang bikin pusing sebagai orangtua. Naura, anak perempuan kami satu-satunya yang baru 4 tahun, berada pada tahap rasa ingin tau yang sangat besar. Ia mulai menanyakan ini-itu. Sebetulnya sejak usia 2 tahun Naura sudah menjadi anak yang curious dan observant. Pertanyaan-pertanyaan semacam “kenapa begini-kenapa begitu” adalah hal sehari-hari. Dan cerita “si anu itu begini, si itu itu begitu” sudah menjadi bahan cerita biasa.

Pernah suatu hari sepulang dari playgroup, Naura cerita begini…”Pak, mama Reno (bukan nama sebenarnya) itu orangnya kaya’ monyet. Bibirnya begini (sambil membentuk mulutnya semonyong-monyongnya).” Hah?! Setelah saya ceker (cek & ricek) ke ibunya. Dan cerita Naura memang mengandung sedikit kebenaran. Ya, ampun! My girl, don’t say that in front of Reno’s mom. Ok? Dan gw yakin Naura ngga setega itu. My sweet little girl is a nice person just like her dad. Hweks! Ia hanya sedikit menggambarkan seseorang secara penuh perhatian. That’s all.

Di lain waktu Naura menanyakan “Apa itu bintang, planet, matahari?” dan yang agak sedikit religius, “Surga dan neraka itu ada di mana?” setelah mendengar lagu Dewa & Chrisye. FYI: Naura lagi suka banget sama lagu itu. Terus, ada lagi… “Allah itu siapa?” Meskipun sebetulnya pertanyaan2 itu agak sulit ngejawabnya, tapi kami berusaha menjawab dengan jujur dan sebisanya.

Di tempo lain, Naura menanyakan atau mempertanyakan kondisi yang agak matere. “Kenapa sih Pak rumah kita ngga tingkat, ngga ada kolam renangnya kaya’ rumah Tante Anu? Kenapa halaman rumah kita ngga luas kaya’ istana Rapunzel? Kenapa kita ngga punya mobil kaya’ punya om anu?” Pertanyaan begini mah cemen. Dan Naura akan segera mengerti dan berakhir dengan keadaan yang mensyukuri apa yang kami milik. Oh, what a happy family!

Nah, tiba saat-saat yang ditunggu, atau malahan saya ngga pernah nunggu atau duga. Inilah punch-line yang betul-betul nonjok gw. “Apa sih sex itu?” Eng ing eng! Langsung gw mikir darimana asal muasal pertanyaan yang nggak asal-asalan ini? Setelah gw inget2 ternyata kata tiga huruf ini berasal dari sebuah film seri komedi TV. Mungkin Bajaj Bajuri atau Jinny Oh Jinny, gw kadang2 ngga bisa ngelarang Naura nonton kedua film ini. Dia suka banget.

Sesaat gw tercenung, antara memikirkan jawaban yang tepat dan norma kepatutan untuk menjawab pertanyaan seperti ini dari seorang gadis kecil usia empat tahun. Sekali lagi, Naura mengulang pertanyaan itu. “Apa sih, Pak?”

Sebagai orangtua yang berusaha untuk selalu fair dan honest ke anak-anak, saya mencoba mencari jawaban yang tepat. Yang ngga bikin dia salah ngerti, bahkan salah arah. Lalu saya mencoba menjawab begini… “Sex itu adalah apa yang dilakukan oleh dua orang yang sudah nikah.” Tolong, pak dan bu psikolog koreksi saya kalo saya salah. Memang jawaban itu agak sedikit luas. Ngga fokus. Lalu saya menunggu reaksi Naura. Sedetik, dua detik, tiga detik. Naura hanya terdiam mencerna jawaban saya dan berkata … “O, kaya’ Tante Yuyun (tetangga kami, yang memang sudah nikah dan pernah hamil) itu ya Pak?” Oh ya, ya, ya, my beautiful lil’ flower. Darimana dia bisa dapat korelasi ini? Oh my Allah yang mahakuasa dan mahatahu, semoga Naura selalu mendapat ridha dan petunjuk-Mu serta menjadi anak yang sholehah. Amin.

Thursday, February 17, 2005

Vera Drake: Wife. Mother. Criminal

Director: Mike Leigh
Actors: Imelda Staunton, Phil Davis, Peter Wight, Daniel Mays
Production: UK Film Council & Inside Track Films, 2004
Location: UK

Vera Drake adalah seorang ibu biasa yang hidup di tengah kota London pada tahun 1950-an. Sehari-hari ia bekerja membantu keluarga-keluarga kaya membereskan rumah mereka. Mencuci, mengepel, dan perkerjaan rumah lain. Termasuk, kerja yang ia sebut sebagai “helping girls out.”

Pada masa itu sering kali terjadi kehamilan yang tak diinginkan di kalangan perempuan Inggris. Entah itu karena free sex, pemerkosaan dan kebobolan. Vera Drake yang selalu ramah siap membantu mengatasi masalah mereka dengan suka rela. Tanpa bayaran.

Hampir separuh dari film ini menunjukkan aktivitas Mrs Drake sehari-hari. Keluar masuk rumah besar, bekerja, termasuk aktivitas helping girls out dengan peralatan sederhana, lalu pulang. Di rumah Vera pun selalu tampil sebagai wonderful mom. Tetap mesra dengan suami kendati usia mereka sudah tidak muda lagi dan tetap perhatian kepada kedua anaknya. Sebuah gambaran keluarga sederhana nan bahagia.

Peristiwa tak terduga akhirnya terjadi ketika polisi harus menjemput Mrs Drake dari rumah untuk dibawa ke kantor polisi. Saat itu mereka sedang menyelenggarakan jamuan makan malam menyambut pernikahan puteri mereka. Mr. Drake beserta anak-anaknya tidak menyadari apa yang sedang terjadi dan Vera Drake mencegah polisi untuk menjelaskan kasus yang sedang menimpanya kepada keluarganya.

Pergulatan bathin Vera Drake menghadapi masalahnya serta kecemasan keluarganya terhadap apa yang sedang terjadi mewarnai separuh akhir film.

Sebuah film dengan penggambaran sederhana namun dengan casting yang kuat sehingga menampilkan adegan-adegan yang efektif. Kita betul-betul dibuah bersimpati dengan tokoh yang sebetulnya “criminal”. Mrs Vera Drake sang penjagal bayi. Imelda Staunton layak diacungi dua jempol. FYI, film ini dapat award di Venice Film Festival untuk Best Film dan Best Actress.

Wednesday, February 16, 2005

Good bye, beautiful stranger! Hello, London!

Nuttin' much happened with the French girl actually. Jangan ngebayangin adegan "mesum" di toilet pesawat terbang kaya' di film2. Sebetulnya, boleh juga sih seperti itu. Tapi, yang ada kami cuma bertegur sapa ketika pesawat landing di Heathrow, London. Ngga' banyak yg diomongin, cuma sekadar basa-basi, kind of "what are u doin' here?" things. Waktu itu gue soalnya masih asli naif. Dan ngga tau apa yg musti dilakukan, tukeran nomor telpon? tukeran alamat? atau tukeran celana dalam? Ngga kepikir semuanya deh. Waktu berlalu cepat, ditambah perasaan gue yg amazed dg kedatangan gue pertama kali di London. Ya, udah... Lepas sudah merpati Perancis...

Sunday, February 13, 2005


Voila, a French girl!  Posted by Hello

Visiting UK: A New Toy!

Sepanjang perjalanan terasa menyenangkan. Di atas pesawat British Airways, gue ngerasa seperti anak kecil yang menemukan hal-hal baru. Pramugari bule yang semuanya terlihat ramah dan helpful. Penumpangnya yang sebagian besar orang bule. Dan cewek yang duduk di ujung sana. Cewek bule yang selalu memperhatikan gue dengan senyum tersungging. So sweet … Yes, yes, yes, finally, I found a new toy!

Saturday, February 12, 2005


I am coming to England! Posted by Hello

Visiting UK: A Dream Comes True

Ketika pesawat tinggal landas dari Bandara Soekarno-Hatta ada perasaan tak menentu dalam hati gue. Excited, sedih, khawatir bercampur jadi satu. Bayangin, ini adalah perjalanan gue yang pertama meninggalkan Pulau Jawa, meninggalkan Indonesia dan bahkan meninggalkan Asia, menuju benua Eropa. Menuju Inggris. Wow!

Selama ini gue belum pernah ninggalin Pulau Jawa. Terus terang gue belum pernah ke Bali sebelum pergi ke Inggris. Cucian, deh. Pergi meninggalkan Pulau Jawa paling banter nyeberang ke Madura waktu masih SD untuk nengokin nenek moyang atau musuh bebuyutan (?). (Orang Tuban sama orang Madura, katanya pernah berseteru dalam sejarahnya.Ingat Adipati Ronggolawe yang gagah perkasa itu? Nah, ini ada hubungannya dengan doi.) Back to the topic, kali ini, sekalinya pergi, ninggalin Pulau Jawa, melesat ke Benua Eropa. Melintasi beberapa negara sekaligus.

Gue longok Jakarta di malam hari dari jendela pesawat. Lampu-lampu Jakarta seakan melambai-lambaikan tangan melepas kepergian gue. Padahal di bawah sana tak seorang pun ada yang peduli. Keluarga besar gue ngga ada yang ngantar ke bandara. Mereka berada nun jauh di sana, di Tuban. Seakan ngga peduli. Memang begitulah, mungkin nama keluarga gw sebetulnya adalah Cuekbebek atau You-can-do-all-by-yourself. Yang jelas, gue ngga mewarisi nama keluarga yang pertama itu karena gue ngerasa sangat caring people and the world (Ngga percaya? Lihat aja slogan di pojok kanan atas. Weks!). Mungkin nama kedua itulah yang lebih tepat.

Saat itu rasa sedih dan kesendirian menyergap seluruh sendi tubuh gue. Wah, apa pula maksudnya? Pokoknya gue sedih banget waktu ninggalin Jakarta dan Pulau Jawa beserta isinya saat itu. Dan kekhawatiran gue muncul karena gue ngebayangin sesuatu yang buruk bisa terjadi dalam perjalanan semalam ini. Wajar toh, bagi anak kampung yang belum pernah melintas keluar pulau, tiba-tiba harus mengalami perjalanan udara yang begitu panjang.

Tapi, sepanjang perjalanan gue terhibur dengan bayangan apa yang akan gue alami pertama kali dalam seumur hidup. Gue bakalan menjejakkan kaki di negeri yang selama ini jadi impian gue. Gue akan menghirup udara yang juga pernah dihirup Freddy Mercury. Gue bakalan melihat pemandangan yang juga pernah dilihat Lady Diana. Gue bakalan mendengar kebisingan kota London yang juga pernah didengar John Lennon. Swear! No other countries I’d really like to visit more than England. Gue udah jatuh cinta lama sama Inggris, sama orang-orang yang bikin Inggris jadi terkenal, terutama sama pemusik-pemusiknya.

Gue ngga nyangka mimpi gue bakalan terwujud dalam waktu secepat ini. Memang usia gue ngga muda lagi waktu itu, 25 tahun. Dalam usia segitu, sebetulnya tampang gue masih imut banget. Gue memang memiliki warisan awet muda, ha ha ha. Tapi kepergian ini sudah jadi prestasi tersendiri dalam sejarah di keluarga gue. Memang gue tidak memecahkan rekor usia termuda pergi ninggalin keluarga. Gue memecahkan rekor pergi paling jauh dari yang dilakukan kakak-kakak gue. Selama ini, rekor itu dipegang kakak gue nomor dua. Yakni, pergi ke Padang. : p

Gue lirik teman seperjalanan gue, Yud. Gue ngga tau apa yang dia pikirin. Apakah seperti yang gue rasain atau ada perasaan lain. Yang jelas, dia masih lebih beruntung karena ada keluarga dan cowok yang melepas di bandara tadi. Masih ada upacara peluk cium di lobby bandara. Sementara gue cuma diantar sama sopir kantor. Uhuk, uhuk. Pengin nangis …

Memang, we never know what will happen to us. Gue merasakan hal itu. Dan gue bahagia dengan apa yang terjadi. Thank God, trims juga buat my old Big Boss yang bikin gue bisa ngalami semua ini. Meskipun, gue sadar kepergian ini juga dalam rangka sebuah rencana yang telah Big Boss bikin. Ini adalah bagian strategi dia untuk keeping his good men. Everybody knows, everybody realizes. Aniwei, kesempatan gitu loh.

Thursday, February 10, 2005

Recommended Movie - Cowboys & Angels

Writen & Directed: David Gleeson
Actors: Michael Legge, Allen Leech, Amy Shiels
Location: Ireland
Production: BBC British Corporation

Film ini berkisah tentang pencarian jati diri seorang anak muda bernama Shane (Michael Legge). Pada awalnya ia merasa kehidupan berlalu begitu saja, padahal ia memiliki potensi menjadi somebody. Shane bekerja di sebuah kantor pelayanan publik dengan rutinitas yang menjemukan.

Perubahan dalam kehidupan Shane berangsur-angsur terjadi ketika ia tinggal satu flat dengan Vincent (Allen Leech). Vincent adalah mahasiswa fashion design yang gay. Dengan kehidupannya yang penuh warna, Vincent mulai me-rebuild Shane menjadi seseorang yang stylish. Meskipun demikian, Vincent tidak dapat mengubah orientasi seks Shane yang straight. Bahkan, Shane jatuh cinta dengan Gemma (Amy Shiels), teman wanita Vincent yang sebetulnya cinta mati dengan Vincent.

Hubungan Shane dan Vincent sempat menjauh ketika Shane terlibat kerjasama dengan drug dealers dalam usahanya mencari uang untuk kuliah lagi. Sementara itu, Vincent mulai pesimis dengan persiapan fashion show yang menjadi ujian akhir kelulusannya. Ia memiliki ambisi besar untuk pergi ke New York. Jatuh-bangun hubungan antara dua anak muda yang berbeda karakter inilah yang mewarnai sepanjang film.

Film ini banyak menggambarkan kehidupan malam anak muda di Limmerick, Irlandia. Beberapa adegan cukup menyentuh, di antaranya ketika Shane teringat kembali pada ayahnya yang meninggal tertabrak pengemudi mabuk. Penggambaran benturan gaya antara Shane dan Vincent juga cukup menggelitik. Sebuah film yang fresh dan anak muda banget.

Wednesday, February 09, 2005

A Rugby Fan Cut Off His Own Testicles

LONDON (Reuters) - A Welsh rugby fan cut off his own testicles to celebrate Wales beating England at rugby, the Daily Mirror has reported.

Geoff Huish, 26, was so convinced England would win Saturday's match he told fellow drinkers at a social club, "If Wales win I'll cut my balls off", the paper said on Tuesday.

Friends at the club in Caerphilly, south Wales, thought he was joking. But after the game Huish went home, severed his testicles with a knife, and walked 200 metres back to the bar with the testicles to show the shocked drinkers what he had done.

Huish was taken to hospital where he remained in a seriously ill condition, the paper said. Police told the paper he had a history of mental problems.

Wales's 11-9 victory over England at the Millennium Stadium in Cardiff was their first home win over England in 12 years.

Monday, February 07, 2005

Movie of The Week - Miracle at Oxford

Miracle at Oxford

Director: Ferdinand Fairfax
Actors: Josh Lucas, Dominic West

Screenplay: Rupert Walters
Production: Miramax & Channel For Films, 1996
Location: UK

Tema cerita memang bisa apa saja. Dan film ini mengambil tema persaingan legendaris antara Oxford University Boat Club (OUBC) dan Cambridge University Boat Club (CUBC) dalam lomba dayung di Sungai Thames.

Dalam sebuah musim kompetisi OUBC dikalahkan oleh CUBC. Ini merupakan sebuah tamparan keras bagi sang juara bertahan. Dalam usaha ingin mengembalikan supremasi, OUBC melakukan segala cara untuk mencapai kemenangan di musim kompetisi berikutnya, termasuk merekrut beberapa atlet dayung Amerika tingkat Olimpiade. Dari sinilah berbagai konflik mulai muncul. Situasi yang up and down di antara pemain dan pelatih ini makin membuat pesimis OUBC bisa mengalahkan musuh bebuyutannya. Bagi mereka, kompetisi ini melebihi Olimpiade dan yang mereka butuhkan dalam sebuah tim adalah "good men, not simply good oarmen."

Akhir cerita dari film ini memang bisa ditebak, tapi perjalanan untuk menuju ke sana sungguh mengaduk emosi. Film ini dapat dikatakan film laki-laki, dari laki-laki, tentang laki-laki dan oleh laki-laki. Tapi cukup layak dilirik perempuan, karena pemainnya rata-rata ganteng dan atletis, meskipun bukan pemain kondang.

Monday, January 31, 2005

FYI: Award-Winning Movies

Cannes Film Festival
2004 - Fahrenheit 9/11
2003 - Elephant
2002 - The Pianist
2001 - La Stanza del Figlio
2000 - Dancer in The Dark

Academy Awards
2004 - LOTR: The Return of The King
2003 - Chicago
2002 - A Beautiful Mind
2001 - Gladiator
2000 - American Beauty

FYI: Best-Selling Books

New York Times Best Seller (paperback):
Fiction
1. The Last Juror - John Grisham
2. 3rd Degree (Women's Murder Club) - James Patterson
3. The Calhoun: Catherine, Amanda, and Lilah - Nora Roberts
4. The Kite Runner - Khaled Hosseini
5. Dance with Me - Luanne Rice

Non-Fiction
1. Reading Lolita in Tehran - Azar Nafisi
2. A Short Hstory of Nearly Everything - Bill Bryson
3. The Tipping Point - Malcolm Gladwell
4. Dreams from My Father - Barack Obama
5. The Devil in The White City - Erik Larson

Movie of The Week- Enduring Love

Director: Roger Michell
Scriptwriter: Joe Penhall
Production: Paramount Pictures, 2004
Location: UK


Suka film-film Eropa, terutama Inggris? Nah, film ini patut ditonton. Seperti kebanyakan film Inggris lain, film ini berkisah tentang kejadian sehari-hari yang kadang-kadang tidak kita duga.

Joe (Daniel Craig) berencana untuk piknik sama ceweknya, Claire (Samantha Morthon) di pinggiran kota Oxford. Sore itu sebetulnya Joe ingin membuat piknik yang spesial, yakni dengan melamar Claire. Tapi sebuah insiden balon terbang yang lepas, di mana seorang bocah laki-laki terbawa terbang, membuyarkan rencana itu. Joe bersama beberapa orang yang ada di taman berusaha menolong. Tapi apa daya, balon terbang itu melambung tinggi dan mereka berjatuhan. Insiden itu akhirnya menewaskan salah seorang penyelamat dengan cara yang mengenaskan.

Bayangan insiden itu selalu menghantui pikiran Joe. Hingga suatu hari ia menerima telepon dari salah satu penyelamat, Jed (Rhys Ifans). Jed merasa mereka berdua telah berbagi powerful moment dan mempunyai ikatan khusus di antara mereka. Sementara itu, Joe mulai merasa terganggu dengan kehadiran Jed yang selalu mengikutinya.

Plot cerita film yang diangkat dari novel Ian McEwan ini berjalan mengalir dengan penggambaran adegan Joe yang kelihatan selalu depresi. Sikap Joe ini tentu saja sangat berpengaruh pada Claire dan orang-orang di sekitarnya. Kehadiran Jed yang betul-betul annoying membuat jalinan cerita semakin keruh.

Dengan tampang bintang-bintang Inggris yang “orang-orang tetangga gue” (tidak cakep-cantik layaknya bintang Hollywood) dan akting yang natural dan meyakinkan membuat film ini sangat intens menohok pikiran kita. Awalnya, memang kita akan merasakan film ini boring (terutama yang tidak biasa nonton film Inggris). Tetapi, dengan bangunan konflik yang meningkat perlahan, you gonna love it. Two thumbs up!


Saturday, January 29, 2005

Short Story - The Girl from Cyber World

Lima belas menit berlalu dari pukul satu siang. Boni baru saja kembali dari makan siang. Saat ia menyandarkan tubuh tambunnya di kursi kerja tiba-tiba bunyi khas dari komputer berdenting nyaring. Tanda ada pesan masuk dari ICQ, sebuah sarana chatting yang sangat populer di Internet.

Boni mengecilkan volume speaker komputer, sebelum ia membuka pesan itu. Ia tidak ingin teman-temannya tahu kalau ia sedang chatting. Padahal sebetulnya seisi kantor sudah tahu kalau Boni paling hobi chatting. Saking gemarnya chatting, Boni sampai tidak peduli waktu. Mesin chatting-nya selalu ia aktifkan meskipun di tengah-tengah jam kerja. Dan ia tak segan membalas semua pesan yang masuk. Tidak peduli pesan dari siapa.

Kebiasaan ini pula yang membuat ia sering kelabakan menjelang deadline pekerjaan. Kalau sudah begini, teman-teman satu tim-nya ikut panik, terutama orang-orang marketing yang langsung berhubungan dengan klien.

Sebetulnya kejadian fatal belum pernah terjadi, misalnya seperti mulur dari deadline atau terkena penalti sama klien. Boni memang selalu bisa menyelesaikan kerjaannya menjelang deadline. Tapi kebiasaan yang selalu bekerja giat di detik-detik terakhir itulah membuat orang lain ketar-ketir.

Angga dan Vivi, teman-temannya di marketing, sudah sering memperingatkan Boni. Tapi Boni tetap Boni, ia hanya membalas peringatan itu dengan sebaris kalimat, “Santai sajalah, yang penting kelar.” Kalau sudah begitu, mereka cuma bisa menahan nafas geram.

Kedap-kedip di toolbar layar monitor betul-betul mengundang Boni untuk segera membukanya. Sambil bertanya-tanya dalam hati, Boni mengarahkan pointer ke kotak kecil di ujung toolbar.

Klik! Kotak kecil itu segera melebar dan terpampang di layar monitornya.


2323145> Hi, how are you (Begitu bunyi pesan singkat via ICQ itu).

Boni tidak kenal nama si pengirim pesan karena di situ hanya ada sederet angka. Itu artinya nama pengirim belum tersimpan dalam daftar teman chatting Boni. Dan kemungkinan ini kali pertama Boni menerima pesan dari dia.

Bagi Boni siapapun dia ngga jadi masalah. Ngobrol dengan seseorang yang anonymous justru menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Ia bisa bebas ngomong apa saja dengan orang yang tak dikenal. Perlahan jari-jari tangannya yang segede pisang ambon itu mulai menari di atas keyboard komputer.

Bonbon81> I’m fine, thx. U?

Pesan Boni tidak segera terjawab. Karenanya, ia membuka Photoshop untuk memulai aktivitas kerja setelah istirahat makan siang. Belum komplit Photoshop terbuka, kotak ICQ berkedip-kedip tanpa suara karena Boni telah mematikan suara speaker-nya.

2323145> same here. Where r u?

Seketika Photoshop yang telah terbuka sempurna tidak dijamahnya. Boks kecil ICQ lebih menarik minat Boni yang saat ini lagi jomblo. Lumayan, siapa tahu teman chatting ini bisa mengusir status jomblo-nya. Sepercik sinar harapan memancar dari boks chatting itu. Padahal ia belum tahu teman chatting baru ini laki-laki atau perempuan. Tapi, hati kecilnya sudah terlalu yakin.

Sekitar dua bulan lalu Boni memutuskan hubungan cintanya dengan Ve, sekretaris sebuah perusahaan trading yang berkantor di dua lantai di bawah kantornya. Begitu kabar resmi dari Boni. Akan tetapi, gosip lain yang beredar menyatakan bahwa Boni-lah yang ditinggalkan begitu saja sama Ve. Cewek berambut sebahu dengan tampang oriental ini lebih memilih cowok bule yang ada di tiga lantai di atas kantor Boni, lantai 21.

2323145> asl plz (maksudnya nanya umur, sex, dan lokasi)
Bonbon81> 23, m, jkt. U?
2323145> 21, f, sin. U work?
Bonbon21> yup. U?

Beberapa saat terdiam.

2323145> Nice 2 chat w/ u, but I gtg. C U
Bonbon81> Nice 2 chat with u 2. HAND (Have A Nice Day)

Aduh! Gue lupa nanya namanya, ujar Boni pada diri sendiri. Dan cewek itu, begitu setidaknya menurut pengakuannya, sudah keburu offline. Dalam dunia per-chatting-an, lawan chatting kita betul-betul anonymous sampai kita ketemu in person. Mereka di balik sana bisa saja mengaku cowok atau cewek, umur sekian, tinggi dan berat badan segini, tapi kenyataannya kita tidak pernah tahu.

Agak berat hati Boni mengakhiri chatting dengan si 2323145. Ia kembali mengutak-atik desain sampul company profile sebuah perusahaan di Photoshop-nya. Terpaksa harus bekerja lagi. Kalau tidak, ia akan diomeli orang sekantor. Deadline kerjaannya tinggal dua hari.
***

Tidak terasa sudah dua minggu Boni chatting sama 2323145 yang ternyata mengaku bernama Lani. Nama dalam dunia maya juga bisa siapa saja. Boni selalu pakai nama bonbon81. Bonbon sudah jelas mengacu pada nama Boni Boniarsa, nama lengkapnya. Sedangkan 81 adalah tahun kelahirannya.

Lani sendiri mengaku 21/f/sin yang artinya cewek usia 21 tahun dan tinggal di Singapura. Lani sebetulnya orang Indonesia, tapi tinggal di Singapura. Ia juga mengaku sedang merintis karier model di negara kota itu. Sebetulnya ia pernah difoto untuk beberapa majalah perempuan di Jakarta tapi belum untuk cover, baru untuk halaman fashion.

Boni sempat penasaran ingin melihat wajah si Lani ini. Ia mencari-cari di beberapa majalah perempuan yang terbit beberapa bulan terakhir lalu menerka-nerka si Lani misterius ini. Tapi, Boni tidak pernah melihat ada model yang bernama Lani. Kemudian ia menghibur diri, mungkin saja nama Lani ini nama samaran di dunia maya. Ngga papa…

Rasa penasaran Boni tidak lama. Lani suatu hari mengirim fotonya via ICQ. Boni segera men-download foto kiriman itu. Ia tidak sabar menunggu file itu terkirim sempurna.

Klik! Boni memencet icon foto itu di komputernya. Segera terbuka sebuah foto berukuran postcard. Lani di foto itu betul-betul gambaran seorang model yang dibayangkan Boni. Bentuk wajahnya oval, kulitnya putih, rambutnya sepundak dan matanya agak sipit. Lebih dari cantik menurut standar Boni. Memang Lani pernah mengaku kalau ia mirip gadis tianghoa, padahal sebetulnya tidak. Ia juga mengaku kalau ia campuran bapak Padang, ibu Sunda. Wajah itu pula yang menguntungkan karier modelnya di Singapura. Apalagi saat ini sedang trend wajah-wajah oriental. Begitu cerita Lani suatu waktu ketika sedang chatting dengan Boni. Dan Boni percaya begitu saja.

Saking gembiranya Boni mendapatkan teman chatting secantik Lani, foto itu ia jadikan wallpaper di komputernya. Aduh! Aduh!
***

“Eh, foto siapa itu?” tanya Angga, rekan sekantor Boni di bagian marketing ketika lewat di depan komputer Boni.
“Teman chatting gue,” jawab Boni bangga.
“O…,” komentar pendek Angga sambil berlalu.
“Bon, kok mirip si …,” tiba-tiba Vivi, teman yang lain, nyeletuk.
“Mirip siapa? Hayo mirip siapa?” tanya Angga sambil balik lagi ke depan komputer Boni.
“Itu tuh…!” Angga segera membungkam mulut Vivi dan menarik tangan kirinya. Vivi jadi keheranan sendiri dengan tingkah Angga. Sementara Boni tidak mempedulikan ulah kedua temannya itu. Ia tengah asyik mengagumi wajah Lani di layar monitor. Rupanya, ia betul-betul sedang dilanda asmara sama Lani.
“Apaan sih?” protes Vivi ketika mereka sudah menjauh dari meja kerja Boni. Angga sambil berbisik-bisik menunjukkan sesuatu di atas meja kerjanya.
“Ini, lho!” Angga menunjukkan foto yang sama dengan wajah yang kini jadi wallpaper di komputer Boni.

Angga kemudian menceritakan semuanya pada Vivi.
“Idih, kasihan anak orang. Lu memang keterlaluan, Ga,” komentar Vivi setelah mendengar ulah Angga.
“Gimana kalau dia nanti benar-benar jatuh cinta?” tanya Vivi.
“Sudah! Dan itu yang sedang terjadi,” jawab Angga enteng.
“Nah, lo! Lebih kasihan lagi dong.”
“Biar aja. Habis dia kerjaannya chatting melulu,” alasan Angga.
***
lani21> Minggu depan gw pulang ke jkt. Bisa ketemu?
bonbon81> bisa, dimana?
lani21> nanti kita arrange, deh
bonbon81> boleh minta no hp?
lani21> gw pake no sin, jadi ntar gw kasih kalo gw ganti no indo
bonbon81> ok deh. Ini no hp gw 0856….
lani21> thx

***
Boni sudah tidak sabar melalui hari-hari. Ingin rasanya seminggu cepat berlalu.

Sementara itu di meja kerja Angga.
“Ga, gila lu!” teriak Vivi.
“Tenang aja. Kita akan mempunyai pertunjukan spektakuler akhir minggu ini,” ujar Angga.
“Lu benar-benar tega mempermainkan perasaan orang.”
***

Jumat sore. Seminggu kemudian.
“Bon, ntar sore lu ada acara, ngga?” tanya Angga tiba-tiba.
“Ada, Ga!” jawab Boni segera.
“Wah, sayang sekali. Padahal gue mau ngajak lu nonton. Dapat tiket premier gratis nih,” cerita Angga kemudian.
“Iya, sayang, Ga. Gue ngga bisa. Ajak aja teman lain.”
“Oke, gue ajak Vivi aja deh.”
“Nontonnya dimana Ga?” tanya Boni.
“PS!”
“Plaza Senayan?”
“Yo’i.”
“Eh, kebetulan gue mau ke sana juga, Ga.”
“Acara apaan? Kencan ya?”
“He he he… iya.”
“Ketemuannya dimana?”
“Di QB dulu, terus mau makan di Café Wien.”
“O….”

Angga berlalu dari meja Boni, sementara Boni mulai mempersiapkan diri untuk bertemu Lani. Ia mulai membereskan meja dan mematikan komputer. Padahal janji bertemu Lani pukul 19.00. Sekarang baru jam 16.45. Berarti masih 2 jam lebih. Dari Menara Kadin, kantor Boni, ke Plaza Senayan tidak sampai 30 menit. Tapi, Boni takut ada hambatan di jalan seperti macet dan sebagainya. Makanya, ia bergegas meninggalkan kantor. Lebih baik terlalu cepat, daripada gagal total. Begitu setidaknya motto yang berlaku pada Boni saat ini.

***

Plaza Senayan, 18.30.

Sudah sekitar satu jam Boni berada di toko buku QB. Namun ia tidak merasa lelah atau bosan, karena memang ia sedang menerapkan motto “Lebih baik menunggu daripada tidak ketemu.”

Sementara itu beberapa meter dari toko buku itu, Angga dan Vivi memperhatikan situasi sekitar toko buku. Mereka berdua seperti dua orang mata-mata yang sedang mengintai penjahat.

Lima belas menit telah berlalu. Tanda-tanda kedatangan Lani tidak juga kelihatan. Di toko buku itu memang keluar-masuk beberapa orang, tapi tidak ada yang berciri-ciri sama dengan Lani. Boni masih setia menunggu sambil duduk membaca sebuah buku berjudul “Smart Luck” (Andrew Davidson). Ia sekadar ambil buku itu. Dan ia tidak benar-benar mengerti isinya, karena kegiatan utama yang ia lakukan adalah menunggu, bukan membaca.

Setelah membaca sekitar tigapuluh menit sepintas Boni menangkap isi buku itu. Menceritakan kesuksesan beberapa pebisnis Inggris terkenal dari Richard Branson hingga Anita Roddick (siapa nih? Itu lho, yang punya Body Shop), tapi ia tidak paham betul apa makna smart luck yang jadi judulnya. Toh, itu ngga penting! Yang penting ia akan bertemu Lani, model cantik yang baru datang dari Singapura.
***
Lima menit menjelang pukul 19.00.
Boni membaca loncat-loncat halaman demi halaman buku itu. Pikirannya sudah tidak bisa berkonsentrasi. Ia sudah tidak mencari-cari lagi arti smart luck, yang ia butuhkan hanya good luck untuk bertemu Lani yang cantik dan model pula.

Angga dan Vivi seperti dua orang yang sedang menunggu klimaks sebuah pertunjukan. Mereka mulai berani berada dalam jarak yang lebih dekat dari toko buku, tapi tetap berusaha tidak terlihat oleh Boni.

Empat menit menuju pukul 19.00. Tidak ada tanda-tanda. Tiga menit. Masuk seorang bapak ke QB. Dua menit. Keluar bapak tadi, masuk seorang wanita. Tapi jelas bukan Lani, karena wanita ini berumur sekitar empat puluhan dan menggandeng anak laki-laki belasan tahun. Satu menit. Masuk laki-laki berkacamata dan seorang perempuan gemuk. Bukan Lani. Tiga puluh detik. Tidak ada tanda-tanda. Lima belas detik, lima detik, empat, tiga, dua, satu. Teng!

Boni beranjak dari tempat duduknya dan mengembalikan buku yang ia baca. Pelayan di toko buku itu tetap menyambut dengan senyum kendati Boni telah satu jam lebih hanya duduk-duduk dan membaca, tanpa membeli. Memang sebuah pelayanan yang ramah dan menyenangkan. Tapi, Boni betul-betul tidak puas dengan keadaan yang ia alami. Seraut wajah kecewa menggurat di wajahnya.

Angga dan Vivi melalui pertunjukan dengan puas.
“Tapi, kasihan Boni lho, Ga,” ujar Vivi bersiap untuk meninggalkan tempat pengintaian.
“Biar tahu rasa dia. Mudah-mudahan dia kapok chatting lagi.”
Mereka berdua akhirnya tertawa-tawa sambil mengulang lagi cerita yang mereka rekayasa mulai dari awal. Setelah makan di food court, mereka memutuskan untuk pulang, tentu saja, dengan perut kenyang dan perasaan senang.

“Angga! Vivi!” Tiba-tiba sebuah suara memanggil mereka berdua dari arah belakang ketika mereka sampai di pintu keluar menuju tempat parkir.

Pada awalnya mereka berdua tidak mengenali suara itu karena memang tidak mengharapkan kedatangannya. Tapi, suara itu sudah telanjur akrab di telinga mereka.

Boni! Ya, itu suara Boni. Angga dan Vivi segera memalingkan wajah menuju sumber suara itu. Alangkah terkejutnya mereka. Mulut mereka menganga selebar-lebarnya. Selebar mulut sumur. (Memang masih ada sumur di Jakarta? Ya sudah, pokoknya mulut mereka membuka lebar maksimal, deh.) Mereka benar-benar tidak percaya apa yang sedang terjadi.

Boni menggandeng seorang perempuan. Perempuan itu tinggi semampai, hingga Boni seperti anak kecil gendut yang sedang dituntun. Dan yang lebih membuat mereka terpana, perempuan itu sungguh mirip dengan yang ada di wallpaper komputer Boni.

LANI? Teriak Angga dan Vivi kompak. Ngga mungkin! Gimana ini bisa terjadi? Protes mereka berdua dalam hati. Sementara itu, Boni bergelayut manja (lebih tepatnya, mupeng) di lengan mulus cewek itu. Bibir dower Boni senyum-senyum mesum. Lalu mereka berlalu di balik mobil-mobil meninggalkan Angga dan Vivi yang masih terdiam sambil melambaikan tangan seperti patung di Bunderan HI.

Sepanjang perjalanan pulang, Angga dan Vivi tidak henti-hentinya mempertanyakan akhir rekayasa cerita mereka.

Ketika mobil Angga berhenti di lampu merah Bundaran Senayan, mereka melihat sebuah billboard iklan besar terpampang di sudut jalan. Di bawah gambar model cewek cantik (bukan Lani, tentu saja), tertulis: “Anything might happen in this world.”

(Inspired by a true story)

Friday, January 28, 2005

TiJe Riding Experience

Sore itu, sekitar pukul 4.30, gw pulang meeting dari Plaza Indonesia. Gw mo pulang pake 'tije' (aka busway) tapi omg, penuhnya minta ampun. Gw udah telanjur beli tiket, mau pake jalur biasa, males naik turun tangganya. Setelah nunggu sekitar 20 menit, antrian ngga juga berkurang. Yang ada, orang semakin banyak berdatangan utk
pulang ke arah Blok M.

Gw mikir, gimana caranya bisa dapat duduk (atau at least masuk nih tije). Saking udah ngga sabar dengan desakan manusia dan pengapnya suasana, tuing! tiba-tiba ada ide terlintas. Langsung gw sibak kerumunan orang dan berbalik ke antrean yg menuju Kota. Di sana cuma ada 4-5 orang. Gw ikut ngantri di sana.

Ngga lama kemudian, si tije yg ke Kota datang. Dengan suka cita gw naik dan dapat tempat duduk. Sempat gw lirik beberapa orang yg senasib dalam antrean ke Blok M. Mereka agak sedikit mengerenyitkan dahi. "Gila nih orang," pikirnya, mungkin. "Tadi ikut antrean di sini kok tiba-tiba berpindah jalur."

Halte demi halte dilalui oleh tije yg gw naiki. Gw melongok di setiap halte. Tapi yg lebih penting gw perhatiin tije yang berlawanan arah (ke Blok M). Sampai di Monas, gw lihat tije masih penuh, ngga ada tempat duduk tersisa. Hingga sampai di Glodok, gw putuskan untuk turun. Dengan lega, gw berjalan menuju antrean ke arah Blok M. Ngga lama kemudian tije datang dg kondisi menyisakan beberapa tempat duduk. Suka cita gw berlari dan mengambil tempat duduk itu. Thanks, God. Usaha ini akhirnya berhasil.

Ketika tije ke Blok M ini melewati Plaza Indonesia, gw lirik beberapa orang yang tadi masih dalam antrean. Gw lihat beberapa orang mulai teriak2 dan gedor-gedor dinding kaca. Dalam hati, gw merasa lega, di sisi lain merasa kasian pada mereka.

Ketika Tije sampai di Karet, ada seorang ibu masuk ke tije yg gw naiki. Berdesak-desakan, sampai ia tiba di hadapan gw. Ibu ini gendut banget dengan bawaan segambreng. Ya ampun, dasar ibu-ibu! naik bus yg penuh gini juga masih bawa tentengan yang bejibun. Ia mengibas-ngibaskan rambut pendeknya. Keringat mengucur dari dahinya. Gw tersentak! Ibu ini ternyata sedang mengandung. Setelah perasaan dalam hati bergulat, antara ngasihin tempat duduk gw ato ngga, gw sampai pada kesimpulan: "Silakan, Bu!" dengan sedikit hati kecut. Tapi, gw rela kok, serela-relanya.

Tips:
Kalo menggunakan trik balik arah seperti gw, jangan sampai di Halte Kota, soalnya di sana sudah tidak ada halte penghubung. Artinya, lo harus beli tiket lagi. Perhatiin juga, ada beberapa halte yg penghubungnya terpisah.

*tije = TJ (Trans Jakarta)

Thursday, January 27, 2005

First Posting

Hi all!
This is my blog. I write about anything here; my story, yours or just something I'd like to share. Maybe it is only a small thing doesn't have any meaning to you.

Please, be free to give your comments.

Thanks,
Dijoe
Loading...
Winamp windows Media Player Real Player QuickTime Web Proxy
Song (artist/title):
Dedicated to:
Your name:
Your E-mail: