Thursday, February 17, 2005

Vera Drake: Wife. Mother. Criminal

Director: Mike Leigh
Actors: Imelda Staunton, Phil Davis, Peter Wight, Daniel Mays
Production: UK Film Council & Inside Track Films, 2004
Location: UK

Vera Drake adalah seorang ibu biasa yang hidup di tengah kota London pada tahun 1950-an. Sehari-hari ia bekerja membantu keluarga-keluarga kaya membereskan rumah mereka. Mencuci, mengepel, dan perkerjaan rumah lain. Termasuk, kerja yang ia sebut sebagai “helping girls out.”

Pada masa itu sering kali terjadi kehamilan yang tak diinginkan di kalangan perempuan Inggris. Entah itu karena free sex, pemerkosaan dan kebobolan. Vera Drake yang selalu ramah siap membantu mengatasi masalah mereka dengan suka rela. Tanpa bayaran.

Hampir separuh dari film ini menunjukkan aktivitas Mrs Drake sehari-hari. Keluar masuk rumah besar, bekerja, termasuk aktivitas helping girls out dengan peralatan sederhana, lalu pulang. Di rumah Vera pun selalu tampil sebagai wonderful mom. Tetap mesra dengan suami kendati usia mereka sudah tidak muda lagi dan tetap perhatian kepada kedua anaknya. Sebuah gambaran keluarga sederhana nan bahagia.

Peristiwa tak terduga akhirnya terjadi ketika polisi harus menjemput Mrs Drake dari rumah untuk dibawa ke kantor polisi. Saat itu mereka sedang menyelenggarakan jamuan makan malam menyambut pernikahan puteri mereka. Mr. Drake beserta anak-anaknya tidak menyadari apa yang sedang terjadi dan Vera Drake mencegah polisi untuk menjelaskan kasus yang sedang menimpanya kepada keluarganya.

Pergulatan bathin Vera Drake menghadapi masalahnya serta kecemasan keluarganya terhadap apa yang sedang terjadi mewarnai separuh akhir film.

Sebuah film dengan penggambaran sederhana namun dengan casting yang kuat sehingga menampilkan adegan-adegan yang efektif. Kita betul-betul dibuah bersimpati dengan tokoh yang sebetulnya “criminal”. Mrs Vera Drake sang penjagal bayi. Imelda Staunton layak diacungi dua jempol. FYI, film ini dapat award di Venice Film Festival untuk Best Film dan Best Actress.

Wednesday, February 16, 2005

Good bye, beautiful stranger! Hello, London!

Nuttin' much happened with the French girl actually. Jangan ngebayangin adegan "mesum" di toilet pesawat terbang kaya' di film2. Sebetulnya, boleh juga sih seperti itu. Tapi, yang ada kami cuma bertegur sapa ketika pesawat landing di Heathrow, London. Ngga' banyak yg diomongin, cuma sekadar basa-basi, kind of "what are u doin' here?" things. Waktu itu gue soalnya masih asli naif. Dan ngga tau apa yg musti dilakukan, tukeran nomor telpon? tukeran alamat? atau tukeran celana dalam? Ngga kepikir semuanya deh. Waktu berlalu cepat, ditambah perasaan gue yg amazed dg kedatangan gue pertama kali di London. Ya, udah... Lepas sudah merpati Perancis...

Sunday, February 13, 2005


Voila, a French girl!  Posted by Hello

Visiting UK: A New Toy!

Sepanjang perjalanan terasa menyenangkan. Di atas pesawat British Airways, gue ngerasa seperti anak kecil yang menemukan hal-hal baru. Pramugari bule yang semuanya terlihat ramah dan helpful. Penumpangnya yang sebagian besar orang bule. Dan cewek yang duduk di ujung sana. Cewek bule yang selalu memperhatikan gue dengan senyum tersungging. So sweet … Yes, yes, yes, finally, I found a new toy!

Saturday, February 12, 2005


I am coming to England! Posted by Hello

Visiting UK: A Dream Comes True

Ketika pesawat tinggal landas dari Bandara Soekarno-Hatta ada perasaan tak menentu dalam hati gue. Excited, sedih, khawatir bercampur jadi satu. Bayangin, ini adalah perjalanan gue yang pertama meninggalkan Pulau Jawa, meninggalkan Indonesia dan bahkan meninggalkan Asia, menuju benua Eropa. Menuju Inggris. Wow!

Selama ini gue belum pernah ninggalin Pulau Jawa. Terus terang gue belum pernah ke Bali sebelum pergi ke Inggris. Cucian, deh. Pergi meninggalkan Pulau Jawa paling banter nyeberang ke Madura waktu masih SD untuk nengokin nenek moyang atau musuh bebuyutan (?). (Orang Tuban sama orang Madura, katanya pernah berseteru dalam sejarahnya.Ingat Adipati Ronggolawe yang gagah perkasa itu? Nah, ini ada hubungannya dengan doi.) Back to the topic, kali ini, sekalinya pergi, ninggalin Pulau Jawa, melesat ke Benua Eropa. Melintasi beberapa negara sekaligus.

Gue longok Jakarta di malam hari dari jendela pesawat. Lampu-lampu Jakarta seakan melambai-lambaikan tangan melepas kepergian gue. Padahal di bawah sana tak seorang pun ada yang peduli. Keluarga besar gue ngga ada yang ngantar ke bandara. Mereka berada nun jauh di sana, di Tuban. Seakan ngga peduli. Memang begitulah, mungkin nama keluarga gw sebetulnya adalah Cuekbebek atau You-can-do-all-by-yourself. Yang jelas, gue ngga mewarisi nama keluarga yang pertama itu karena gue ngerasa sangat caring people and the world (Ngga percaya? Lihat aja slogan di pojok kanan atas. Weks!). Mungkin nama kedua itulah yang lebih tepat.

Saat itu rasa sedih dan kesendirian menyergap seluruh sendi tubuh gue. Wah, apa pula maksudnya? Pokoknya gue sedih banget waktu ninggalin Jakarta dan Pulau Jawa beserta isinya saat itu. Dan kekhawatiran gue muncul karena gue ngebayangin sesuatu yang buruk bisa terjadi dalam perjalanan semalam ini. Wajar toh, bagi anak kampung yang belum pernah melintas keluar pulau, tiba-tiba harus mengalami perjalanan udara yang begitu panjang.

Tapi, sepanjang perjalanan gue terhibur dengan bayangan apa yang akan gue alami pertama kali dalam seumur hidup. Gue bakalan menjejakkan kaki di negeri yang selama ini jadi impian gue. Gue akan menghirup udara yang juga pernah dihirup Freddy Mercury. Gue bakalan melihat pemandangan yang juga pernah dilihat Lady Diana. Gue bakalan mendengar kebisingan kota London yang juga pernah didengar John Lennon. Swear! No other countries I’d really like to visit more than England. Gue udah jatuh cinta lama sama Inggris, sama orang-orang yang bikin Inggris jadi terkenal, terutama sama pemusik-pemusiknya.

Gue ngga nyangka mimpi gue bakalan terwujud dalam waktu secepat ini. Memang usia gue ngga muda lagi waktu itu, 25 tahun. Dalam usia segitu, sebetulnya tampang gue masih imut banget. Gue memang memiliki warisan awet muda, ha ha ha. Tapi kepergian ini sudah jadi prestasi tersendiri dalam sejarah di keluarga gue. Memang gue tidak memecahkan rekor usia termuda pergi ninggalin keluarga. Gue memecahkan rekor pergi paling jauh dari yang dilakukan kakak-kakak gue. Selama ini, rekor itu dipegang kakak gue nomor dua. Yakni, pergi ke Padang. : p

Gue lirik teman seperjalanan gue, Yud. Gue ngga tau apa yang dia pikirin. Apakah seperti yang gue rasain atau ada perasaan lain. Yang jelas, dia masih lebih beruntung karena ada keluarga dan cowok yang melepas di bandara tadi. Masih ada upacara peluk cium di lobby bandara. Sementara gue cuma diantar sama sopir kantor. Uhuk, uhuk. Pengin nangis …

Memang, we never know what will happen to us. Gue merasakan hal itu. Dan gue bahagia dengan apa yang terjadi. Thank God, trims juga buat my old Big Boss yang bikin gue bisa ngalami semua ini. Meskipun, gue sadar kepergian ini juga dalam rangka sebuah rencana yang telah Big Boss bikin. Ini adalah bagian strategi dia untuk keeping his good men. Everybody knows, everybody realizes. Aniwei, kesempatan gitu loh.

Thursday, February 10, 2005

Recommended Movie - Cowboys & Angels

Writen & Directed: David Gleeson
Actors: Michael Legge, Allen Leech, Amy Shiels
Location: Ireland
Production: BBC British Corporation

Film ini berkisah tentang pencarian jati diri seorang anak muda bernama Shane (Michael Legge). Pada awalnya ia merasa kehidupan berlalu begitu saja, padahal ia memiliki potensi menjadi somebody. Shane bekerja di sebuah kantor pelayanan publik dengan rutinitas yang menjemukan.

Perubahan dalam kehidupan Shane berangsur-angsur terjadi ketika ia tinggal satu flat dengan Vincent (Allen Leech). Vincent adalah mahasiswa fashion design yang gay. Dengan kehidupannya yang penuh warna, Vincent mulai me-rebuild Shane menjadi seseorang yang stylish. Meskipun demikian, Vincent tidak dapat mengubah orientasi seks Shane yang straight. Bahkan, Shane jatuh cinta dengan Gemma (Amy Shiels), teman wanita Vincent yang sebetulnya cinta mati dengan Vincent.

Hubungan Shane dan Vincent sempat menjauh ketika Shane terlibat kerjasama dengan drug dealers dalam usahanya mencari uang untuk kuliah lagi. Sementara itu, Vincent mulai pesimis dengan persiapan fashion show yang menjadi ujian akhir kelulusannya. Ia memiliki ambisi besar untuk pergi ke New York. Jatuh-bangun hubungan antara dua anak muda yang berbeda karakter inilah yang mewarnai sepanjang film.

Film ini banyak menggambarkan kehidupan malam anak muda di Limmerick, Irlandia. Beberapa adegan cukup menyentuh, di antaranya ketika Shane teringat kembali pada ayahnya yang meninggal tertabrak pengemudi mabuk. Penggambaran benturan gaya antara Shane dan Vincent juga cukup menggelitik. Sebuah film yang fresh dan anak muda banget.

Wednesday, February 09, 2005

A Rugby Fan Cut Off His Own Testicles

LONDON (Reuters) - A Welsh rugby fan cut off his own testicles to celebrate Wales beating England at rugby, the Daily Mirror has reported.

Geoff Huish, 26, was so convinced England would win Saturday's match he told fellow drinkers at a social club, "If Wales win I'll cut my balls off", the paper said on Tuesday.

Friends at the club in Caerphilly, south Wales, thought he was joking. But after the game Huish went home, severed his testicles with a knife, and walked 200 metres back to the bar with the testicles to show the shocked drinkers what he had done.

Huish was taken to hospital where he remained in a seriously ill condition, the paper said. Police told the paper he had a history of mental problems.

Wales's 11-9 victory over England at the Millennium Stadium in Cardiff was their first home win over England in 12 years.

Monday, February 07, 2005

Movie of The Week - Miracle at Oxford

Miracle at Oxford

Director: Ferdinand Fairfax
Actors: Josh Lucas, Dominic West

Screenplay: Rupert Walters
Production: Miramax & Channel For Films, 1996
Location: UK

Tema cerita memang bisa apa saja. Dan film ini mengambil tema persaingan legendaris antara Oxford University Boat Club (OUBC) dan Cambridge University Boat Club (CUBC) dalam lomba dayung di Sungai Thames.

Dalam sebuah musim kompetisi OUBC dikalahkan oleh CUBC. Ini merupakan sebuah tamparan keras bagi sang juara bertahan. Dalam usaha ingin mengembalikan supremasi, OUBC melakukan segala cara untuk mencapai kemenangan di musim kompetisi berikutnya, termasuk merekrut beberapa atlet dayung Amerika tingkat Olimpiade. Dari sinilah berbagai konflik mulai muncul. Situasi yang up and down di antara pemain dan pelatih ini makin membuat pesimis OUBC bisa mengalahkan musuh bebuyutannya. Bagi mereka, kompetisi ini melebihi Olimpiade dan yang mereka butuhkan dalam sebuah tim adalah "good men, not simply good oarmen."

Akhir cerita dari film ini memang bisa ditebak, tapi perjalanan untuk menuju ke sana sungguh mengaduk emosi. Film ini dapat dikatakan film laki-laki, dari laki-laki, tentang laki-laki dan oleh laki-laki. Tapi cukup layak dilirik perempuan, karena pemainnya rata-rata ganteng dan atletis, meskipun bukan pemain kondang.