Wednesday, May 18, 2005

Haruskah kita belajar dari anak kecil?

Kubaca koran pagi. Halaman pertama. Di bagian atas memberitakan beberapa pejabat ditahan karena kasus korupsi. Ah, biasa. Akhir-akhir ini saya sudah terbiasa dengan berita semacam itu. Dan saya sudah terbiasa pula menebak akhir dari kasus seperti itu. Biasa, biasa, biasa.

Mataku lalu tertuju pada berita kecil di ujung bawah koran. Dalam tulisan itu diceritakan seorang gadis kecil di Amerika yang menulis surat buat teman-temannya korban tsunami di Aceh. Sepucuk surat kecil yang menaruh perhatian besar terhadap sesamanya. Mereka terpisah jarak nun jauh. Mereka melakukan aksi nyata dengan mengumpulkan uang saku untuk sumbangan. Bahkan mereka membuat kerajinan tangan berupa gelang yang lalu dijual dan hasilnya disumbangkan pula. Sebuah aksi kecil luar biasa. Jumlah uangnya mungkin tidak besar. Tapi kepedulian mereka sungguh luar biasa.

Oh anak-anak. Haruskah kami, yang merasa dewasa ini, harus belajar kepadamu? Haruskah kami selalu diingatkan dengan hal-hal kecil yang kau lakukan?

Dasar anak-anak. Kadang kalian disepelekan. Ditiadakan. Dilupakan. Dikosongkan. Tapi kalian sungguh putih. Bersih. Meski kecil.

Lalu sekarang apa gunanya mereka yang besar-besar tetapi juga melakukan kerusakan yang meraksasa. Hutan, sungai, laut, langit, daratan perlahan-lahan akan luluh lantak karena tangan-tangan besar yang terbutakan. Menyepelekan. Meniadakan. Mengosongkan. Kotor. Dan itu besar.

Tuesday, May 17, 2005

Obrolan Dangdut Terdahsyat!

Saking keasyikan kerja di depan komputer, gw telat makan siang. Karena perut sudah memainkan orkestra lengkap, gw buru-buru melesat mencari makanan. Dan yang paling dekat adalah warung soto ayam Bang Endut di depan kantor. Selain murah meriah, soto Jawa Timur ini juga lumayan uenak. Tapi, sebetulnya gw kan bukan pencicip makanan yang handal. Yang ada di lidah gw cuma enak dan enak sekale. Buat Rena, sorry, gw ngga bisa ngebedain mie di Crystal Jade sama mie-mie di tempat lain secara gw juga ngga terlalu hobi sama mie-mie-an. Tapi, emang di situ TOP banget sih.

Setelah meneriakkan pesanan, gw segera mengambil ancang-ancang untuk menikmati panas dan pedasnya soto ayam di siang bolong. Sambil menunggu soto pesanan diracik, selintas terdengar obrolan dua lelaki yang duduk berserberangan sama gw. Dua lelaki ini tipe mas-mas berprofesi kerja kasar atau satpam (sori, bukan berarti gw membedakan profesi ini dg yang lain). Gw sekadar pengin ngasih gambaran gimana postur dua lelaki berkulit legam ini dan selanjutnya mengontraskan dengan obrolan mereka.

“Musik lagu-lagu Uut lebih tergarap bagus. Suaranya juga lebih merdu daripada Inul,” ujar Si Mas A. Lalu Si Mas B tidak kalah serunya memberi tanggapan yang intinya mendukung pendapat Si Mas A sambil memberikan beberapa contoh judul lagu yang dinyanyikan kedua penyanyi. Sori, gw ngga hapal betul judul-judul lagu itu. Made, sori ya gw bukan fans Uut.

Yang bikin gw heran, ternyata ada perbincangan semacam itu di antara dua lelaki berbadan kekar. Seurieus pula. Gw ngga bakal heran kalo mereka ngomongin kejadian kriminal yang habis mereka baca di koran merah, atau bakul jamu yang bahenol atau nomor-nomor togel yang diramalkan bakal keluar.

Akhirnya, perbincangan seru di antara kedua mas ini mengiringi suapan-suapan soto ayam gw. Mereka menggunakan istilah cengkok, tarikan napas, pitch control, tiupan suling, hentakan gendang dan berbagai piranti dangdut lain. Sebetulnya gw gatal pengin nimbrung tapi gw betul-betul ngga menguasai bahan. Yang gw tau hanya sebatas Inul memperkenalkan goyang ngebor dan Uut populer dg goyang ngecornya. Nyerah deh, dalam hal ini gw ngga bisa ngebedain mana dangdut yang enak dan yang ngga enak. Yang penting asyik buat goyang aja Salam dangdut, mas!