Wednesday, September 24, 2008

Laporan tentang Bukber di SCBD

Senin kemarin teman-teman kuliah ngadain bukber (buka bersama) atau bubar (buka bareng) di Sari Kuring SCBD, Jakarta. Udah lama juga gak ketemu sebagian besar teman yang akan hadir. Setelah melalui perjalanan panjang Kelapa Gading - Semanggi bersama Yani dan Asep, kami nongol sebagai komplotan yang tertinggal, pasalnya di ruang VIP (yang telah dipesan Desimon) telah hadir dedengkot MA86. Macet, macet, macet! biasa...

Yah, terpaksa kami mengais-ngais sisa makanan yang masih lumayan banyak. Ini pesan makanannya kebanyakan atau yang makan sebelumnya pada ja'im? Ada gurame goreng, ikan patin, udang goreng tepung, cah kangkung, tahu goreng, lalapan, kolak dan yang lain. Mr. Pete dan Miss Jengki hadir gak ya waktu itu? Secara Yani sudah order jauh-jauh hari. He he he.

Setelah sesi UP (urusan perut) kelar, mulai deh pembahasan nostalgia-gak-karuan-yang-justru-paling-asyik. Mulai dari cerita siapa yang jadi petir (penghuni terakhir) di angkatan kami, dan sepertinya jatuh ke tangan Syafrizal setelah Desrias baru sadar di saat terakhir. Lalu yang gak kalah seru adalah sesi momen "coba-tebak-siapa-ingat". Di sini ada kejadian-kejadian lucu yang gak terlupakan bagi sebagian orang atau semua orang. Peristiwa 'Ujian Pake Konde' saya pikir itu monumental. Apalagi dibumbui asumsi -asumsi alasan pemakaian konde itu. Hwakakakakak... sarana contekan? Atau trik mengganggu konsentrasi peserta ujian yang lain? Halah!

Sesi 'Masih-Ingat-Dosen-Ini?' juga gak kalah sadis. Di sesi ini kami mengungkap kebiasaan nyeleneh para dosen. Ada Pak Pamuntjak yang tubuhnya (lumayan tambun) selalu menutupi tulisannya sendiri di papan tulis hingga membuat kami ngelongok ke sana-sini. Pas udah kelihatan jelas, eh doi hapus tuh tulisan tanpa rasa bersalah. Belum lagi ngebayangin Pak Sembiring yang ngomongnya gak jelas secara sembiringan. Pak Rawuh, yang menurut Yani, pernah mengadu kekuatanVW kodoknya dengan angkot-angkot secara ia lupa jalur (Ingat Pak, Bandung bukan Amrik). Hwekekekek...

Situasi semakin memuncak saat kehadiran Lusi yang mulai tidak mengenali siapa teman, siapa lawan. Hayah! Dan ia merasa lebih tua di antara kami, padahal kita seangkatan, Lus. Asumsi Sugi: "Lo, lulus duluan sih... jadi sekarang merasa lebih tua." Gerrrr! Ada aja!

Akhirnya, kami menyudahi perbuatan kami yang senonoh dan tak senonoh sebelum kami bertambah gila dan harus masuk lagi ke karantina.

Pemain kesebelasan:
Desimon - penyandang dana (Thanks, bro)
Sugi - pemicu tawa yang kagak ada matinya
Maman - celetukannya masih ampuh
Ahsan - "Ih, kenapa lho kok jadi kaya' gini?" asked Lusi.
Lusi - masih serius...
Novi - masih centil secentil Dian Sastro
Yani - petasan banting
Lani - mesam-mesem aja, jeung
Anita - tetap bijak aja
Gw - masih ... (oks)
Asep - lumayan tambun, mau nyaingi Desimon-tok!

Wednesday, September 17, 2008

Buku Kenangan = Friendster

Jaman dulu, waktu SMP atau SMA, kita sering punya buku yang isinya biodata lengkap teman kita atau kenalan baru. Buku ini bisa disebut buku kenangan atau buku memory atau nama-nama lain yang intinya serupa. Isi standarnya adalah nama, alamat, tanggal lahir, hobby, warna kesukaan dan yang gak kalah penting, di bagian akhir suka ada sebaris atau beberapa baris kalimat yang sering kita sebut kata-kata mutiara. Hwakakakakak...

Buku ini selain memuat biodata teman, juga diselingi dengan lirik lagu yang lagi ngetop. Bisa ditulis sang pemilik buku kenangan, bisa juga sumbangan dari pengisi buku. Udah gitu, di akhir lirik lagu lazimnya dihias dengan gambar vignet. Hiyahahaha...

Tapi, kalau saya pikir-pikir ternyata kebiasaan manusia sepanjang masa itu tetap sama, cuma sarananya aja yang beda. Semakin hari, semakin canggih. Kalau jadul (jaman dulu) ada buku kenangan, jakin (jaman kini) ada yang namanya Friendster (FS), facebook, myspace, multiply dan aplikasi jejaring sosial lain. Coba perhatikan, isinya kurang lebih sama kan? Cuma sekarang lebih canggih. Pengisinya dan pembacanya gak sebatas teman sekolah atau teman yang ketemu waktu persami, tapi teman dari seluruh dunia. Kalau dulu ada lirik lagu dan vignet-nya, sekarang ada aplikasi tambahan berupa audio atau video dan ilustrasi penghias halaman ajang gaul maya itu.

Women Can't Read A Map

Setelah baca "Driving Miss Crazy"-Ratih.

Ini adalah salah bukti "Women Can't Read A Map." Cerita ini terjadi beberapa tahun silam, ketika kami (saya dan beberapa teman) sedang ambil sebuah short course di Cambridge, UK. Di sana kami tinggal di rumah induk semang, semacam indekos lah. Dan kami tinggal terpisah-pisah. Gak ngumpul dengan teman-teman lain.

Di Cambridge kami menyewa sepeda untuk sarana transportasi, selain murah juga mengasyikkan. Lagian, Cambridge adalah kota kecil yang kalau dikelilingi pakai sepeda cuma butuh beberapa menit. Jalan-jalannya gak terlalu ramai dan ini yang paling penting, ada jalur khusus untuk sepeda. Jadi aman-suparman! Setelah sekitar seminggu kami tinggal di Cambridge, sepulang dari tempat kursus, salah satu temanku, Yudi (perempuan) bilang, "Dik, anter aku pulang dong."

"Hloh, kamu gak bawa sepeda?" tanyaku.
"Bawa, tapi aku selalu nyasar kalo pulang."
"Hah? Kamu gak bawa peta?"
"Bawa, tapi tetap aja nyasar."
"Lalu saat berangkat gimana?"
"Bareng sama teman serumah."

Kasihan juga...

Lalu saya antar Yudi ke rumahnya, eh ke tempat indekosnya, ding. Padahal tempat Yudi ini sebetulnya gak terlalu jauh dari tempat kursus. Cuma memang melalui banyak perempatan. Dalam tiga hari berturut-turut Yudi bersepeda mengikutiku di belakang saat pulang dari tempat kursus. Setelah itu, baru ia tahu jalan pulang. Halah! Anak yang aneh... He he he

Wednesday, September 10, 2008

Pawang Ular: Wanted!

Beberapa hari lalu, pada suatu malam anak saya, Naura saat sedang menonton TV tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran seekor ular. Betul! Ular beneran... bukan di TV. Ular itu nongol dari balik celah yang ada di plafon dekat dapur . Ular itu, menurut Naura, berwarna hitam dengan besar kepala sekepalan tangannya. Lidahnya menjulur-julur. Serem... Naura seketika berlari memanggil ibunya. Malam itu kebetulan saya belum pulang.

Isteri saya lalu menelpon saya, dan saya menelpon tukang yang sering membantu pekerjaan perbaikan rumah. Sebelum sang tukang datang, isteri saya ke tempat tetangga dan bercerita perihal kedatangan tamu tak diundang itu. Beberapa remaja berbondong-bondong masuk ke rumah bermaksud mencari ular itu. Si tukang dan beberapa remaja naik ke atas wuwungan sambil membawa senter dan pemukul. Setelah meneliti setiap sudut wuwungan, ular itu tidak ditemukan. Sepertinya mereka kalah gesit dengan si ular.

Saat saya datang, kami hanya bisa membahas dan memperbincangkan kehadiran ular itu di teras sambil minum-minum dan menikmati makanan ringan. Penyelesaian sementara, celah itu ditutup. Akan tetapi, hingga saat ini kami selalu dibayang-bayangi si ular itu. Apa lagi anak saya yang sempat menyaksikan langsung.

Kehadiran ular di rumah kami sebetulnya sudah terhitung tiga kali. Yang pertama, beberapa bulan sebelumnya, pada suatu malam, isteri saya melihat sekelebat di tangga teras saat akan turun memanggil tukang roti. Yang kedua, kami melihat kulit ular pada suatu pagi, di sela-sela tanaman di taman depan rumah. Maklum tempat tinggal kami memang masih dekat kebun di sekitar Setu Babakan.

Ada yang pernah ngalami hal serupa? Please help us, Mr Pawang Ular!

Sunday, September 07, 2008

Tiba-tiba Dia Menghentikan

Beberapa hari lalu saya mendapat job menerjemahkan dari seorang dokter melalui seorang rekan. Awalnya saya minta ke sang dokter melalui rekan saya untuk memperlihatkan terlebih dahulu naskah yang akan diterjemahkan. Saya takut terlalu banyak istilah kedokteran yang tidak saya mengerti. Setelah melihat fotokopian bagian naskah berbahasa Inggris itu, saya menyanggupi pekerjaan tersebut. Melalui rekan saya itu, kami bernegosiasi fee dan tenggat, yang pada akhirnya kami sepakati. Meskipun sebetulnya tenggat dua minggu itu terasa begitu ketat. Mengingat, waktu saya tidak untuk pekerjaan itu saja. Namun, Insya Allah, saya bisa menyelesaikannya.

Setelah itu, tentu saja saya mengatur jadwal hidup saya dengan sangat cermat. Pendeknya, lumayan ngebut demi menyelesaikan job itu, sambil tetap menyelesaikan hal-hal lain. Setelah sekitar seminggu, dan saya telah menyelesaikan hampir separuh bagian buku tersebut, saya mendapat kabar dari rekan saya, kalau sang dokter membatalkan job tersebut. OMG, sempat saya tidak bisa berkata apa-apa.

Setelah saya renungkan sejenak, mungkin ini bukan rezeki saya, dan beberapa halaman yang telah saya kerjakan sepertinya sia-sia. Lalu daripada lembaran ini terbuang percuma, saya memutuskan, dan menelpon rekan saya: "Tolong, hasil terjemahan saya ini diberikan pada si dokter dan terserah pada dia... apa yang akan dia lakukan."

Kita tunggu apa yang akan terjadi selanjutnya...