Friday, October 31, 2008

Ketika Musim BB Tiba

Akhir-akhir ini mewabah di sebagian warga Jakarta, mungkin juga di beberapa kota besar lain. Orang-orang merasa ketinggalan kalau tidak menenteng gadget yang berinisial BB. Blackberry! Another BB after all the famous BB's as for Brigite Bardot or Betty Boobs. BB yang ini mungkin sama-sama terlihat sexy. Sexy? Yang lebih tepat mungkin bahenol alias nyempleg (dalam bahasa Jawa) secara bentuk. Bagi saya pribadi, BB gak ada indah-indahnya. Sexy mungkin, kalau yang menggunakan Scarlett Johanson atau Rihanna atau Wulan Guritno. Menurut saya lebih keren secara tampilan, iPhone punya Apple, atau Nokia N95, atau omnia punya Samsung, atau yang terbaru Xperia-nya Sony Ericsson. Mereka lebih futuristik.

BlackBerry (berbagai seri)

Secara teknologi? Sepertinya sama saja dengan handphone jenis smartphone atau kelas high-end lain. Karena belum pernah mencoba, saya tanyakan pada teman yang menggunakannya, apa kelebihan BB? Dia hanya jawab, enak bisa chatting dan cek email dan browsing. Hloh, bukannya dengan handphone yang sudah 3G atau GPRS-pun dengan tambahan software semacam morange, kita juga bisa melakukan hal yang sama, tanpa harus bayar langganan fasilitas blackberry? Iya sih, kata teman saya, tapi gw kan gaptek. Gak ngerti dengan yang begituan. Jadi, kesimpulannya BB untuk mereka yang gaptek (?) Halah, maaf bukan maksud saya menyinggung perasaan dan peranakan Anda.

iPhone

Yang jelas, ini hanya sekadar tren di kalangan tertentu dan (mungkin) sesaat. Keinginan untuk tampil "beda" sekaligus sama dengan para selebriti (konon yang banyak pake alat ini adalah mereka). Ooo ok, selebriti yang ... gaptek. Oops, sorry! I did it agan. Gak kok, banyak kok selebriti yang gak gaptek, yang melek teknologi. Siapa sih yang gak pengin tampil beda dan dianggap mengikuti tren teknologi terkini. Siapa yang gak bangga di akhir e-mailnya ada tulisan "Sent by Blackberry... bla bla bla."


Nokia N95

Omnia-Samsung


Yang jelas, untuk tampil beda dan ngikutin tren ini, pasti butuh biaya lebih. Harga BB sendiri rata-rata di atas HP yang lain, belum ditambah biaya langganan layanannya per bulan. Padahal dengan HP yang sudah 3G (harga 1,5 - 3jtan) dan memanfaatkan software gratisan, kita bisa menikmati chatting, emailing, dan browsing dengan nyaman. Anywhere, anytime sampai BB. BB yang ini adalah Bau Badan. Hwakakakak.

Xperia-SE



Saturday, October 18, 2008

Laskar Pelangi: A Must See Movie

Malam sabtu lalu kami nonton film Laskar Pelangi. Kami berhasil mendapatkan tiket untuk pertunjukan jam 19.00 karena tiket untuk waktu-waktu sebelumnya sudah ludes jauh sebelum jam pemutaran. Ini adalah salah satu fenomena keberhasilan film karya bangsa sendiri setelah AADC, Petualangan Sherina, dan Ayat-Ayat Cinta. Sebelum nonton, saya sudah sempat membaca beberapa resensi di koran, tapi belum sempat membaca bukunya. Meskipun di rumah ada buku itu sejak beberapa tahun silam. He he he...

Keindahan gambar, pesan yang ingin disampaikan dan sisi hiburan dari film ini tak dapat diragukan lagi. Bisa saya katakan ini adalah Film of The Year. Sepanjang film kita diajak menjadi bagian dari perjuangan anak-anak Belitong. Ada sedih, ketawa, dan konyol, layaknya masa kecil dan jaman sekolah yang pernah kita alami dulu. Buat penonton dewasa, kita pasti bisa merelasikan dengan pengalaman kita sendiri yang mungkin serupa atau bisa jadi lebih mengharukan. Buat penonton anak-anak, mereka tetap bisa menikmati pengalaman kelucuan dan kekonyolan anak-anak karena sebetulnya dunia anak-anak tetaplah sama walau berbeda masa dan keadaan. Dan anak-anak tetap bisa melihat dengan pandangan yang jernih terhadap dunia mereka: bermain dan belajar.

Sutradara dan penulis skenario film ini berhasil menangkap dunia anak itu dengan baik. Para pemain pun berhasil meyakinkan penonton. Anak saya (8 tahun) saja terkesan dengan beberapa tokoh dalam film itu: Bu Muslimah, Mahar, Lintang, dan tentu saja Si Ikal. Pemandangan pantai dan pedesaan dalam film ini juga membuat kita lebih mengenal alam negeri kita sendiri. Anak saya jadi selalu teringat dengan alam pantai Belitong saat melihat gambar pantai di televisi.

Pesan yang relevan dengan kondisi bangsa kita saat ini tentang pendidikan dan kepemimpinan meluncur dengan mulus dan cukup menyentil. Misalnya, saat Pak Arfan berbincang dengan Pak Zul, beliau menekankan pentingnya pendidikan yang disampaikan dengan hati, bukan sekadar nilai-nilai. Lalu di lain kesempatan, melalui mulut seorang anak disampaikan bahwa kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Film ini berhasil menjadi hiburan dengan pesan dan sindiran yang cerdas.

Justru yang menarik saat menonton film ini kemarin adalah pemandangan sebelum masuk ke dalam ruang pertunjukan. Namanya anak-anak, ada-ada saja tingkah dan polahnya. Ada anak yang selalu marah-marah karena mungkin kesal menunggu. Ada tiga anak bersaudara yang menonton sendiri tanpa ditemani orangtua mereka dan mungkin ini adalah pengalaman menonton pertama mereka karena si kakak selalu bertanya ke sana kemari dan memberi petuah pada adik kecilnya. Ada anak yang berdandan bak mau berpesta, dengan gaun putih dan sepatu boot berhak tinggi. Menonton film ini memang sebuah perayaan, tapi gak perlu se-"lebai" itu lah. Kalau ini mungkin ulah orang tuanya. Ha ha ha. Dan ternyata saat kami keluar sekitar pukul 21.00, masih banyak anak-anak yang menunggu untuk menonton.

Berikut ini komentar jujur dari anak saya. Film-nya bagus, lebih bagus dari Ayat-Ayat Cinta dan film anak lain yang kami saksikan sebelumnya (baca: Liburan Seru). "Mau nonton lagi?" tanya saya. "Mau!" jawabnya seketika. Dan menurutnya adegan yang paling menyentuh adalah saat Lintang mengucapkan perpisahan dengan Bu Muslimah dan teman-teman sekolahnya. Setuju! Itu adalah salah satu adegan yang cukup mengharukan.

Sementara itu komentar kritis anak saya adalah sebagai berikut. "Kenapa sih Lintang berhenti sekolah?" tanyanya. "Karena bapaknya meninggal dan dia harus mengasuh adik-adiknya yang masih kecil," jawab saya berdasarkan cerita dalam film itu. Lalu ia memberi saran, "Kenapa Bu Muslimah gak mengajak Lintang dan adik-adiknya tinggal di rumahnya, biar Lintang masih bisa sekolah." Ha ha ha... Tentang hal ini saya gak bisa berkomentar. Nanti saya tanyakan Om Andrea Hirata yang punya cerita.

Monday, October 13, 2008

Cerita Mudik dalam Gambar (Seri 3 - Tamat)

Kegiatan lain yang ada dalam acara mudik adalah mencari oleh-oleh atau cinderamata. Kita selalu berusaha mencari buah tangan khas apa yang layak dibawa, baik untuk diri sendiri ataupun untuk teman dan tetangga. Mencari oleh-oleh kadang-kadang menjadi hal yang sulit, apalagi jika daerah yang kita datangi atau kunjungi tidak memiliki sesuatu yang unik sebagai buah tangan.

Saya juga selalu menemui kesulitan dalam hal mencari oleh-oleh khas Tuban karena kebanyakan benda yang mencirikan kota pesisir utara ini bukan makanan yang tahan lama, misalnya tuak, legen, dan siwalan. Makanan kletikan (kecil) khas Tuban apa ya? Dulu saya selalu minta dibuatkan ke ibu saya "kemplang." Kemplang Tuban yang saya kenal beda dengan kemplang Palembang. Kemplang Tuban terbuat dari adonan tepung ketan dengan bumbu pedas dan dibentuk lempengan bulat kecil seukuran tutup botol lebih besar sedikit lalu digoreng. Ini adalah snack khas keluarga saya, tidak banyak dijual umum.

Sebetulnya ada gagasan oleh-oleh khas Tuban lain, yaitu kecap cap laron, terasi, gereh (ikan asin). Ada beberapa tempat yang menjual oleh-oleh kering ini, di antara Toko Asih di Jalan Pang. Sudirman dan Toko Hanik di Jl. WR Supratman. Oh ya, ada satu lagi oleh-oleh khas Tuban yang mulai terkenal, yaitu kain atau pakaian bermotif batik gedog. Pakaian atau kaos ini dapat kita temukan di dekat Mesjid Sunan Bonang.

Kalau dari Kediri tentu saja kita bisa membawa tahu Kediri yang memang sudah terkenal, stik tahu (tahu kering yang dipotong panjang-panjang lalu digoreng), dan getuk pisang.

Berikut ini gambar-gambar perburuan oleh-oleh di Tuban, Kediri, dan (juga) Pekalongan karena kami sempat mampir menginap di kota ini.

Suasana di Toko Hanik yang menjual aneka ikan asin, terasi, kecap dan olahan hasil laut lain.
Motif batik gedog khas Tuban.

Toko khusus bakiak di Jalan Dhoho, Kediri yang telah berusia puluhan tahun layak dikunjungi untuk sekadar bernostalgia.


Ingat Pekalongan tentu saja ingat batik. Di Pusat grosir batik Pekalongan kita bisa menemukan batik dengan harga terjangkau hingga yang mahal.

Friday, October 10, 2008

Cerita Mudik dalam Gambar (Seri 2)

Satu ritual mudik yang tak pernah terlewatkan adalah memburu makanan khas. Makanan asli kampung selalu membawa kenangan tersendiri. Berikut ini wiskul kecil-kecilan yang sempat kami nikmati.

Salah satu masakan khas Tuban adalah becek mentog. Becek adalah semacam kari atau gulai tapi dengan cita rasa khas yang menurut Bondan Winarno lebih terasa bumbu kari India-nya hanya agak sedikit lebih cuer (encer). Dan mentog, tentu saja, Anda kenal kan dengan unggas sejenis bebek yang lebih bahenol itu. Makanan lain yang sempat kami coba adalah nus (cumi-cumi) yang dimasak hitam hingga membuat kuahnya berwarna hitam legam (Sayang dokumentasi untuk kedua makanan ini gak ada).

Lalu kami mencoba ke Warunge Pak Bagong yang menyajikan santapan lele dan nasi jagung. Lele di sini dimasak pedas-asem yang juara banget. Bikin ketagihan! Nasi jagung menambah rasa sensasional tak biasa. Setelah itu ditutup dengan es legen yang menyejukkan di tengah Kota Tuban nan panas. (Warunge Pak Bagong terekomendasi dengan gambar belut lima)


Sajian standar lain di Tuban adalah bakso. Kami sempat mencoba salah satu juara bakso "Goyang Lidah." Warung yang terletak di Jl WR Supratman ini menyajikan juga nasi goreng yang rasanya tidak kalah dengan nasi goreng kelas resto di Jakarta.


Makanan khas Kediri tidak kalah juara. Ada nasi tumpang untuk pengisil perut di pagi hari. Sayuran daun singkong, kangkung, pepaya muda dan taoge disiram dengan "dressing" yang diramu dari tempe bosok membuat lidah menari-nari. Buat yang pertama kali merasakan pasti ada reaksi menolak, tapi begitu sudah terbiasa... ditanggung klepek-klepek. Nagih, bo. Kalau ingin mencoba wiskul eksotis, boleh tuh nasi tumpang ditambah sate bekicot. Alamak! (nasi Tumpang Mbok Reki di JL Brawijaya rekomen dengan gambar bekicot lima)


Selain nasi tumpang, kami juga mencoba gado-gado Mbok Mad di samping Sri Ratu. Gado-gadonya bener-bener khas. Siraman bumbu kacangnya yang ringan membuat "lupa-lupa-ingat" hingga ingin mencoba lagi, lagi, dan lagi. (Rekomendasi dengan gambar taoge tiga)



Rujak cingur Kediri juga tak kalah menantang. Ada banyak warung menyediakan menu "salad Jawa" dengan tambahan kikil (cingur) ini. Warung Bu Hesti di Ronggowarsito dan beberapa tempat di emperan Jalan Dhoho patut dicicipi. (Rekomendasi: Di seberang Toko Perahu Jl Dhoho dengan gambar cingur empat).


Thursday, October 09, 2008

Cerita Mudik dalam Gambar (Seri 1)

Tahun ini kami mudik lebaran dengan berkendara mobil dari Jakarta-Kediri-Tuban. Cukup melelahkan walau tak terlalu terjebak macet karena kami berangkat H-5 dan kembali H+6. Pengalaman setahun sekali ini selalu membawa kenangan.

Ini adalah sebagian gambar sebagai oleh-oleh.

Kali Brantas yang membelah Kota Kediri.


Jembatan tua yang menghubungkan wilayah wetan dan kulon Kediri.


Salah satu sudut Jalan Dhoho, tempat wisata belanja, di Kediri.




Jajaran toko jadul yang masih menyemarakkan Jalan Dhoho. Meskipun saya tidak mempunyai kenangan terhadap toko-toko ini, saya dapat merasakan suasana masa lalu melalui cerita orang-orang yang mengalaminya.


Pak Istadi pemilik Toko Semeru yang menjual barang-barang dari kayu, batok dengan antusias menghibur pembeli dengan permainan harmonikanya. Beliau juga mampu melakukan trik sulap sederhana yang cukup menghibur.


Si bok (panggilan ibu untuk orang Madura) penjual rujak cingur di Jalan Dhoho ini dengan antusias melayani pembeli yang sabar mengantri.