Saturday, January 29, 2005

Short Story - The Girl from Cyber World

Lima belas menit berlalu dari pukul satu siang. Boni baru saja kembali dari makan siang. Saat ia menyandarkan tubuh tambunnya di kursi kerja tiba-tiba bunyi khas dari komputer berdenting nyaring. Tanda ada pesan masuk dari ICQ, sebuah sarana chatting yang sangat populer di Internet.

Boni mengecilkan volume speaker komputer, sebelum ia membuka pesan itu. Ia tidak ingin teman-temannya tahu kalau ia sedang chatting. Padahal sebetulnya seisi kantor sudah tahu kalau Boni paling hobi chatting. Saking gemarnya chatting, Boni sampai tidak peduli waktu. Mesin chatting-nya selalu ia aktifkan meskipun di tengah-tengah jam kerja. Dan ia tak segan membalas semua pesan yang masuk. Tidak peduli pesan dari siapa.

Kebiasaan ini pula yang membuat ia sering kelabakan menjelang deadline pekerjaan. Kalau sudah begini, teman-teman satu tim-nya ikut panik, terutama orang-orang marketing yang langsung berhubungan dengan klien.

Sebetulnya kejadian fatal belum pernah terjadi, misalnya seperti mulur dari deadline atau terkena penalti sama klien. Boni memang selalu bisa menyelesaikan kerjaannya menjelang deadline. Tapi kebiasaan yang selalu bekerja giat di detik-detik terakhir itulah membuat orang lain ketar-ketir.

Angga dan Vivi, teman-temannya di marketing, sudah sering memperingatkan Boni. Tapi Boni tetap Boni, ia hanya membalas peringatan itu dengan sebaris kalimat, “Santai sajalah, yang penting kelar.” Kalau sudah begitu, mereka cuma bisa menahan nafas geram.

Kedap-kedip di toolbar layar monitor betul-betul mengundang Boni untuk segera membukanya. Sambil bertanya-tanya dalam hati, Boni mengarahkan pointer ke kotak kecil di ujung toolbar.

Klik! Kotak kecil itu segera melebar dan terpampang di layar monitornya.


2323145> Hi, how are you (Begitu bunyi pesan singkat via ICQ itu).

Boni tidak kenal nama si pengirim pesan karena di situ hanya ada sederet angka. Itu artinya nama pengirim belum tersimpan dalam daftar teman chatting Boni. Dan kemungkinan ini kali pertama Boni menerima pesan dari dia.

Bagi Boni siapapun dia ngga jadi masalah. Ngobrol dengan seseorang yang anonymous justru menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Ia bisa bebas ngomong apa saja dengan orang yang tak dikenal. Perlahan jari-jari tangannya yang segede pisang ambon itu mulai menari di atas keyboard komputer.

Bonbon81> I’m fine, thx. U?

Pesan Boni tidak segera terjawab. Karenanya, ia membuka Photoshop untuk memulai aktivitas kerja setelah istirahat makan siang. Belum komplit Photoshop terbuka, kotak ICQ berkedip-kedip tanpa suara karena Boni telah mematikan suara speaker-nya.

2323145> same here. Where r u?

Seketika Photoshop yang telah terbuka sempurna tidak dijamahnya. Boks kecil ICQ lebih menarik minat Boni yang saat ini lagi jomblo. Lumayan, siapa tahu teman chatting ini bisa mengusir status jomblo-nya. Sepercik sinar harapan memancar dari boks chatting itu. Padahal ia belum tahu teman chatting baru ini laki-laki atau perempuan. Tapi, hati kecilnya sudah terlalu yakin.

Sekitar dua bulan lalu Boni memutuskan hubungan cintanya dengan Ve, sekretaris sebuah perusahaan trading yang berkantor di dua lantai di bawah kantornya. Begitu kabar resmi dari Boni. Akan tetapi, gosip lain yang beredar menyatakan bahwa Boni-lah yang ditinggalkan begitu saja sama Ve. Cewek berambut sebahu dengan tampang oriental ini lebih memilih cowok bule yang ada di tiga lantai di atas kantor Boni, lantai 21.

2323145> asl plz (maksudnya nanya umur, sex, dan lokasi)
Bonbon81> 23, m, jkt. U?
2323145> 21, f, sin. U work?
Bonbon21> yup. U?

Beberapa saat terdiam.

2323145> Nice 2 chat w/ u, but I gtg. C U
Bonbon81> Nice 2 chat with u 2. HAND (Have A Nice Day)

Aduh! Gue lupa nanya namanya, ujar Boni pada diri sendiri. Dan cewek itu, begitu setidaknya menurut pengakuannya, sudah keburu offline. Dalam dunia per-chatting-an, lawan chatting kita betul-betul anonymous sampai kita ketemu in person. Mereka di balik sana bisa saja mengaku cowok atau cewek, umur sekian, tinggi dan berat badan segini, tapi kenyataannya kita tidak pernah tahu.

Agak berat hati Boni mengakhiri chatting dengan si 2323145. Ia kembali mengutak-atik desain sampul company profile sebuah perusahaan di Photoshop-nya. Terpaksa harus bekerja lagi. Kalau tidak, ia akan diomeli orang sekantor. Deadline kerjaannya tinggal dua hari.
***

Tidak terasa sudah dua minggu Boni chatting sama 2323145 yang ternyata mengaku bernama Lani. Nama dalam dunia maya juga bisa siapa saja. Boni selalu pakai nama bonbon81. Bonbon sudah jelas mengacu pada nama Boni Boniarsa, nama lengkapnya. Sedangkan 81 adalah tahun kelahirannya.

Lani sendiri mengaku 21/f/sin yang artinya cewek usia 21 tahun dan tinggal di Singapura. Lani sebetulnya orang Indonesia, tapi tinggal di Singapura. Ia juga mengaku sedang merintis karier model di negara kota itu. Sebetulnya ia pernah difoto untuk beberapa majalah perempuan di Jakarta tapi belum untuk cover, baru untuk halaman fashion.

Boni sempat penasaran ingin melihat wajah si Lani ini. Ia mencari-cari di beberapa majalah perempuan yang terbit beberapa bulan terakhir lalu menerka-nerka si Lani misterius ini. Tapi, Boni tidak pernah melihat ada model yang bernama Lani. Kemudian ia menghibur diri, mungkin saja nama Lani ini nama samaran di dunia maya. Ngga papa…

Rasa penasaran Boni tidak lama. Lani suatu hari mengirim fotonya via ICQ. Boni segera men-download foto kiriman itu. Ia tidak sabar menunggu file itu terkirim sempurna.

Klik! Boni memencet icon foto itu di komputernya. Segera terbuka sebuah foto berukuran postcard. Lani di foto itu betul-betul gambaran seorang model yang dibayangkan Boni. Bentuk wajahnya oval, kulitnya putih, rambutnya sepundak dan matanya agak sipit. Lebih dari cantik menurut standar Boni. Memang Lani pernah mengaku kalau ia mirip gadis tianghoa, padahal sebetulnya tidak. Ia juga mengaku kalau ia campuran bapak Padang, ibu Sunda. Wajah itu pula yang menguntungkan karier modelnya di Singapura. Apalagi saat ini sedang trend wajah-wajah oriental. Begitu cerita Lani suatu waktu ketika sedang chatting dengan Boni. Dan Boni percaya begitu saja.

Saking gembiranya Boni mendapatkan teman chatting secantik Lani, foto itu ia jadikan wallpaper di komputernya. Aduh! Aduh!
***

“Eh, foto siapa itu?” tanya Angga, rekan sekantor Boni di bagian marketing ketika lewat di depan komputer Boni.
“Teman chatting gue,” jawab Boni bangga.
“O…,” komentar pendek Angga sambil berlalu.
“Bon, kok mirip si …,” tiba-tiba Vivi, teman yang lain, nyeletuk.
“Mirip siapa? Hayo mirip siapa?” tanya Angga sambil balik lagi ke depan komputer Boni.
“Itu tuh…!” Angga segera membungkam mulut Vivi dan menarik tangan kirinya. Vivi jadi keheranan sendiri dengan tingkah Angga. Sementara Boni tidak mempedulikan ulah kedua temannya itu. Ia tengah asyik mengagumi wajah Lani di layar monitor. Rupanya, ia betul-betul sedang dilanda asmara sama Lani.
“Apaan sih?” protes Vivi ketika mereka sudah menjauh dari meja kerja Boni. Angga sambil berbisik-bisik menunjukkan sesuatu di atas meja kerjanya.
“Ini, lho!” Angga menunjukkan foto yang sama dengan wajah yang kini jadi wallpaper di komputer Boni.

Angga kemudian menceritakan semuanya pada Vivi.
“Idih, kasihan anak orang. Lu memang keterlaluan, Ga,” komentar Vivi setelah mendengar ulah Angga.
“Gimana kalau dia nanti benar-benar jatuh cinta?” tanya Vivi.
“Sudah! Dan itu yang sedang terjadi,” jawab Angga enteng.
“Nah, lo! Lebih kasihan lagi dong.”
“Biar aja. Habis dia kerjaannya chatting melulu,” alasan Angga.
***
lani21> Minggu depan gw pulang ke jkt. Bisa ketemu?
bonbon81> bisa, dimana?
lani21> nanti kita arrange, deh
bonbon81> boleh minta no hp?
lani21> gw pake no sin, jadi ntar gw kasih kalo gw ganti no indo
bonbon81> ok deh. Ini no hp gw 0856….
lani21> thx

***
Boni sudah tidak sabar melalui hari-hari. Ingin rasanya seminggu cepat berlalu.

Sementara itu di meja kerja Angga.
“Ga, gila lu!” teriak Vivi.
“Tenang aja. Kita akan mempunyai pertunjukan spektakuler akhir minggu ini,” ujar Angga.
“Lu benar-benar tega mempermainkan perasaan orang.”
***

Jumat sore. Seminggu kemudian.
“Bon, ntar sore lu ada acara, ngga?” tanya Angga tiba-tiba.
“Ada, Ga!” jawab Boni segera.
“Wah, sayang sekali. Padahal gue mau ngajak lu nonton. Dapat tiket premier gratis nih,” cerita Angga kemudian.
“Iya, sayang, Ga. Gue ngga bisa. Ajak aja teman lain.”
“Oke, gue ajak Vivi aja deh.”
“Nontonnya dimana Ga?” tanya Boni.
“PS!”
“Plaza Senayan?”
“Yo’i.”
“Eh, kebetulan gue mau ke sana juga, Ga.”
“Acara apaan? Kencan ya?”
“He he he… iya.”
“Ketemuannya dimana?”
“Di QB dulu, terus mau makan di CafĂ© Wien.”
“O….”

Angga berlalu dari meja Boni, sementara Boni mulai mempersiapkan diri untuk bertemu Lani. Ia mulai membereskan meja dan mematikan komputer. Padahal janji bertemu Lani pukul 19.00. Sekarang baru jam 16.45. Berarti masih 2 jam lebih. Dari Menara Kadin, kantor Boni, ke Plaza Senayan tidak sampai 30 menit. Tapi, Boni takut ada hambatan di jalan seperti macet dan sebagainya. Makanya, ia bergegas meninggalkan kantor. Lebih baik terlalu cepat, daripada gagal total. Begitu setidaknya motto yang berlaku pada Boni saat ini.

***

Plaza Senayan, 18.30.

Sudah sekitar satu jam Boni berada di toko buku QB. Namun ia tidak merasa lelah atau bosan, karena memang ia sedang menerapkan motto “Lebih baik menunggu daripada tidak ketemu.”

Sementara itu beberapa meter dari toko buku itu, Angga dan Vivi memperhatikan situasi sekitar toko buku. Mereka berdua seperti dua orang mata-mata yang sedang mengintai penjahat.

Lima belas menit telah berlalu. Tanda-tanda kedatangan Lani tidak juga kelihatan. Di toko buku itu memang keluar-masuk beberapa orang, tapi tidak ada yang berciri-ciri sama dengan Lani. Boni masih setia menunggu sambil duduk membaca sebuah buku berjudul “Smart Luck” (Andrew Davidson). Ia sekadar ambil buku itu. Dan ia tidak benar-benar mengerti isinya, karena kegiatan utama yang ia lakukan adalah menunggu, bukan membaca.

Setelah membaca sekitar tigapuluh menit sepintas Boni menangkap isi buku itu. Menceritakan kesuksesan beberapa pebisnis Inggris terkenal dari Richard Branson hingga Anita Roddick (siapa nih? Itu lho, yang punya Body Shop), tapi ia tidak paham betul apa makna smart luck yang jadi judulnya. Toh, itu ngga penting! Yang penting ia akan bertemu Lani, model cantik yang baru datang dari Singapura.
***
Lima menit menjelang pukul 19.00.
Boni membaca loncat-loncat halaman demi halaman buku itu. Pikirannya sudah tidak bisa berkonsentrasi. Ia sudah tidak mencari-cari lagi arti smart luck, yang ia butuhkan hanya good luck untuk bertemu Lani yang cantik dan model pula.

Angga dan Vivi seperti dua orang yang sedang menunggu klimaks sebuah pertunjukan. Mereka mulai berani berada dalam jarak yang lebih dekat dari toko buku, tapi tetap berusaha tidak terlihat oleh Boni.

Empat menit menuju pukul 19.00. Tidak ada tanda-tanda. Tiga menit. Masuk seorang bapak ke QB. Dua menit. Keluar bapak tadi, masuk seorang wanita. Tapi jelas bukan Lani, karena wanita ini berumur sekitar empat puluhan dan menggandeng anak laki-laki belasan tahun. Satu menit. Masuk laki-laki berkacamata dan seorang perempuan gemuk. Bukan Lani. Tiga puluh detik. Tidak ada tanda-tanda. Lima belas detik, lima detik, empat, tiga, dua, satu. Teng!

Boni beranjak dari tempat duduknya dan mengembalikan buku yang ia baca. Pelayan di toko buku itu tetap menyambut dengan senyum kendati Boni telah satu jam lebih hanya duduk-duduk dan membaca, tanpa membeli. Memang sebuah pelayanan yang ramah dan menyenangkan. Tapi, Boni betul-betul tidak puas dengan keadaan yang ia alami. Seraut wajah kecewa menggurat di wajahnya.

Angga dan Vivi melalui pertunjukan dengan puas.
“Tapi, kasihan Boni lho, Ga,” ujar Vivi bersiap untuk meninggalkan tempat pengintaian.
“Biar tahu rasa dia. Mudah-mudahan dia kapok chatting lagi.”
Mereka berdua akhirnya tertawa-tawa sambil mengulang lagi cerita yang mereka rekayasa mulai dari awal. Setelah makan di food court, mereka memutuskan untuk pulang, tentu saja, dengan perut kenyang dan perasaan senang.

“Angga! Vivi!” Tiba-tiba sebuah suara memanggil mereka berdua dari arah belakang ketika mereka sampai di pintu keluar menuju tempat parkir.

Pada awalnya mereka berdua tidak mengenali suara itu karena memang tidak mengharapkan kedatangannya. Tapi, suara itu sudah telanjur akrab di telinga mereka.

Boni! Ya, itu suara Boni. Angga dan Vivi segera memalingkan wajah menuju sumber suara itu. Alangkah terkejutnya mereka. Mulut mereka menganga selebar-lebarnya. Selebar mulut sumur. (Memang masih ada sumur di Jakarta? Ya sudah, pokoknya mulut mereka membuka lebar maksimal, deh.) Mereka benar-benar tidak percaya apa yang sedang terjadi.

Boni menggandeng seorang perempuan. Perempuan itu tinggi semampai, hingga Boni seperti anak kecil gendut yang sedang dituntun. Dan yang lebih membuat mereka terpana, perempuan itu sungguh mirip dengan yang ada di wallpaper komputer Boni.

LANI? Teriak Angga dan Vivi kompak. Ngga mungkin! Gimana ini bisa terjadi? Protes mereka berdua dalam hati. Sementara itu, Boni bergelayut manja (lebih tepatnya, mupeng) di lengan mulus cewek itu. Bibir dower Boni senyum-senyum mesum. Lalu mereka berlalu di balik mobil-mobil meninggalkan Angga dan Vivi yang masih terdiam sambil melambaikan tangan seperti patung di Bunderan HI.

Sepanjang perjalanan pulang, Angga dan Vivi tidak henti-hentinya mempertanyakan akhir rekayasa cerita mereka.

Ketika mobil Angga berhenti di lampu merah Bundaran Senayan, mereka melihat sebuah billboard iklan besar terpampang di sudut jalan. Di bawah gambar model cewek cantik (bukan Lani, tentu saja), tertulis: “Anything might happen in this world.”

(Inspired by a true story)

1 comment:

Anonymous said...

Kaya'nya gw tau sebagian cerita ini. Tapi, ending-nya ngga gitu deh... He he he. (someone in 16th Floor)