Saturday, October 18, 2008

Laskar Pelangi: A Must See Movie

Malam sabtu lalu kami nonton film Laskar Pelangi. Kami berhasil mendapatkan tiket untuk pertunjukan jam 19.00 karena tiket untuk waktu-waktu sebelumnya sudah ludes jauh sebelum jam pemutaran. Ini adalah salah satu fenomena keberhasilan film karya bangsa sendiri setelah AADC, Petualangan Sherina, dan Ayat-Ayat Cinta. Sebelum nonton, saya sudah sempat membaca beberapa resensi di koran, tapi belum sempat membaca bukunya. Meskipun di rumah ada buku itu sejak beberapa tahun silam. He he he...

Keindahan gambar, pesan yang ingin disampaikan dan sisi hiburan dari film ini tak dapat diragukan lagi. Bisa saya katakan ini adalah Film of The Year. Sepanjang film kita diajak menjadi bagian dari perjuangan anak-anak Belitong. Ada sedih, ketawa, dan konyol, layaknya masa kecil dan jaman sekolah yang pernah kita alami dulu. Buat penonton dewasa, kita pasti bisa merelasikan dengan pengalaman kita sendiri yang mungkin serupa atau bisa jadi lebih mengharukan. Buat penonton anak-anak, mereka tetap bisa menikmati pengalaman kelucuan dan kekonyolan anak-anak karena sebetulnya dunia anak-anak tetaplah sama walau berbeda masa dan keadaan. Dan anak-anak tetap bisa melihat dengan pandangan yang jernih terhadap dunia mereka: bermain dan belajar.

Sutradara dan penulis skenario film ini berhasil menangkap dunia anak itu dengan baik. Para pemain pun berhasil meyakinkan penonton. Anak saya (8 tahun) saja terkesan dengan beberapa tokoh dalam film itu: Bu Muslimah, Mahar, Lintang, dan tentu saja Si Ikal. Pemandangan pantai dan pedesaan dalam film ini juga membuat kita lebih mengenal alam negeri kita sendiri. Anak saya jadi selalu teringat dengan alam pantai Belitong saat melihat gambar pantai di televisi.

Pesan yang relevan dengan kondisi bangsa kita saat ini tentang pendidikan dan kepemimpinan meluncur dengan mulus dan cukup menyentil. Misalnya, saat Pak Arfan berbincang dengan Pak Zul, beliau menekankan pentingnya pendidikan yang disampaikan dengan hati, bukan sekadar nilai-nilai. Lalu di lain kesempatan, melalui mulut seorang anak disampaikan bahwa kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Film ini berhasil menjadi hiburan dengan pesan dan sindiran yang cerdas.

Justru yang menarik saat menonton film ini kemarin adalah pemandangan sebelum masuk ke dalam ruang pertunjukan. Namanya anak-anak, ada-ada saja tingkah dan polahnya. Ada anak yang selalu marah-marah karena mungkin kesal menunggu. Ada tiga anak bersaudara yang menonton sendiri tanpa ditemani orangtua mereka dan mungkin ini adalah pengalaman menonton pertama mereka karena si kakak selalu bertanya ke sana kemari dan memberi petuah pada adik kecilnya. Ada anak yang berdandan bak mau berpesta, dengan gaun putih dan sepatu boot berhak tinggi. Menonton film ini memang sebuah perayaan, tapi gak perlu se-"lebai" itu lah. Kalau ini mungkin ulah orang tuanya. Ha ha ha. Dan ternyata saat kami keluar sekitar pukul 21.00, masih banyak anak-anak yang menunggu untuk menonton.

Berikut ini komentar jujur dari anak saya. Film-nya bagus, lebih bagus dari Ayat-Ayat Cinta dan film anak lain yang kami saksikan sebelumnya (baca: Liburan Seru). "Mau nonton lagi?" tanya saya. "Mau!" jawabnya seketika. Dan menurutnya adegan yang paling menyentuh adalah saat Lintang mengucapkan perpisahan dengan Bu Muslimah dan teman-teman sekolahnya. Setuju! Itu adalah salah satu adegan yang cukup mengharukan.

Sementara itu komentar kritis anak saya adalah sebagai berikut. "Kenapa sih Lintang berhenti sekolah?" tanyanya. "Karena bapaknya meninggal dan dia harus mengasuh adik-adiknya yang masih kecil," jawab saya berdasarkan cerita dalam film itu. Lalu ia memberi saran, "Kenapa Bu Muslimah gak mengajak Lintang dan adik-adiknya tinggal di rumahnya, biar Lintang masih bisa sekolah." Ha ha ha... Tentang hal ini saya gak bisa berkomentar. Nanti saya tanyakan Om Andrea Hirata yang punya cerita.

No comments: