Tuesday, July 29, 2008

Semua ada yang mengatur

Suatu hari saya sedang membaca sebuah majalah. Tiba-tiba saya merasa tidak nyaman dengan bacaan di depan mata saya. Bukan karena topiknya, bukan pula karena bahasa dalam tulisannya. Saya mencoba mengalihkan perhatian ke hal lain. Lalu kembali mencoba membaca. Dan ketaknyamanan itu masih ada. Saya mencoba menjauhkan majalah itu dari jarak mata saya. Tiba-tiba semua terasa lebih jelas. Ya Tuhan, saya sudah seperti "kakek-kakek."

Saya menghentikan aktivitas baca saya. Dan mulai berkata pada diri sendiri. "Saat itu telah datang. Begitu cepatnya..." Salah satu tanda bertambahnya usia mulai terasa. Saya mengaca diri di cermin. Guratan kulit di atas alis... Kantung kelopak mata menggayut... Hmmm...

Saya tak hendak menafikkan kodrat. Saya hanya menyadari bahwa saya tak muda lagi. Ketakutan-ketakutan manusiawi berloncatan dari pikiran. Bagaimana seandainya ajal itu segera datang. Bagaimana dengan nasib anakku, bagaimana dengan kehidupan istriku, bagaimana dengan keluargaku... Walau sebetulnya kematian tidak ada kaitan dengan hitungan angka usia. Ia bisa datang kapan saja.

Tiba-tiba beberapa waktu lalu saya disentak curhatan serupa dari seorang teman. "Bagaimana kalau saya pergi terlebih dahulu, sementara anak-anak saya masih belum mapan. Karena selama ini saya menjadi tulang punggung keluarga." Begitu kira-kira cerita seorang teman. Lalu ia bercerita tentang usaha yang ia rintis sendiri, tanpa bantuan suami sebagai kepala keluarga. Dan cerita panjang lebar itu diakhiri dengan: "Sebetulnya saya sudah lelah."

Tentu saja, saya mencoba mengobati "luka" teman saya dengan sepotong kalimat mujarab: "Semua sudah ada yang mengatur." Kata-kata ini memang jawaban mutlak. Hanya saja, kita sering menyadarinya hanya sebagai kata-kata. Tidak lebih. Untuk menerimanya secara ikhlas, perlu usaha keras.

Saya tahu dari ceritanya, teman saya adalah jenis isteri bekerja yang sukses. Ia telah berhasil membangun usaha sendiri yang pada akhirnya menghidupi keluarganya. Menafkahi anak dan suaminya. Secara materi tidak kekurangan.

Lalu saya yakinkan teman saya, "Seorang isteri yang bekerja, sebetulnya ia tidak berkewajiban membagi hasil jerih payahnya untuk keluarga karena wanita tidak mempunyai tanggungjawab memberi nafkah keluarga. Tetapi, seandainya ia menyisihkan uangnya sedikit saja untuk keperluan keluarga... itu adalah sedekah yang tak ternilai besarnya."

"Maka ikhlaskan saja. Lillahi ta'ala."

Tentang ketakutan-ketakutan kematian itu, kita memang sering dengan congkak mengambil peran Yang mahakuasa. Seolah-olah kita tahu apa yang akan terjadi pada orang-orang terdekat sepeninggal kita. Lalu kita berandai-andai. Lalu kita menyiap-nyiapkan. Menulis skenario yang sebetulnya tak kita perlukan. Hanya suratan Tuhan-lah yang pada akhirnya berlaku.

"Semua sudah ada yang mengatur. Dan itu bukan kita."

(Untuk istriku yang selalu menjadi inspirasiku.)

No comments:

Loading...
Winamp windows Media Player Real Player QuickTime Web Proxy
Song (artist/title):
Dedicated to:
Your name:
Your E-mail: